Gereja yang Terus Bereformasi
Analisis Historis, Komparatif, dan Strategis Ekklesiologi Protestan Menghadapi Abad ke-21
Ringkasan Eksekutif
Tulisan komprehensif ini menyajikan analisis tiga-bagian yang mendalam mengenai ekklesiologi (doktrin tentang gereja) dalam tradisi Protestan, mulai dari fondasinya pada abad ke-16 hingga tantangan di era digital saat ini. Analisa ini mengintegrasikan wawasan dari sejarah teologi, analisis organisasi komparatif, dan manajemen strategis untuk memenuhi tiga tujuan utama: (1) menelusuri sejarah perkembangan doktrin ekklesiologi Protestan; (2) membandingkan model tata kelola (polity) gereja-gereja di Indonesia dan luar negeri; dan (3) mengusulkan kerangka ekklesiologi ideal yang adaptif terhadap konteks modern.
Temuan kunci dari Bagian 1 menunjukkan bahwa DNA genetik Protestanisme—yang tertanam dalam prinsip Sola Scriptura 1 dan “Imamat Am Semua Orang Percaya” 2—menciptakan desentralisasi otoritas radikal. Keputusan historis untuk mengutamakan “kebenaran” doktrinal di atas “kesatuan” institusional, sebuah “kebutuhan yang tragis” 3, telah secara logis menyebabkan fragmentasi berkelanjutan yang menjadi ciri khas Protestanisme.
Bagian 2 melakukan analisis komparatif terhadap berbagai model tata kelola, membedah tiga arketipe global (Episkopal, Presbiterial, Kongregasional) 4 sebelum menganalisis studi kasus di Indonesia. Analisis ini mengungkap inovasi ekklesiologis yang unik: “Kristokrasi” di HKBP sebagai alat manajemen untuk sentralisasi teologis 7; sistem “Pelayan Khusus” (Pelsus) di GMIM sebagai strategi manajemen sumber daya manusia (SDM) awam yang masif 8; model “Kolektif-Kolegial” GKI sebagai struktur kepemimpinan “datar” (flat) 10; dan munculnya “Ekklesiologi Hibrid” Pentakosta (GSJA) yang secara strategis mengadopsi elemen liturgis dan oikoumenis.11
Bagian 3 menawarkan kerangka kerja strategis untuk “ekklesiologi adaptif”, dengan argumen bahwa prinsip Reformasi Ecclesia reformata, semper reformanda (Gereja yang terus-menerus mereformasi diri) adalah padanan teologis dari prinsip manajemen modern Continuous Quality Improvement. Kerangka ideal ini dibangun di atas lima pilar yang merespons tantangan PESTLE+ (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Lingkungan, Hukum/HAM): (1) Gereja yang Lincah (Agile/Elastic Church) 12 untuk era digital; (2) Gereja yang Inklusif dan Adil dalam tata kelola gender 13 dan mampu mengelola perbedaan teologis 14; (3) Gereja yang Kontekstual melalui Teologi-Eko 15 dan dekolonisasi hermeneutis 16; (4) Gereja sebagai Saksi Publik yang Kredibel melalui Good Corporate Governance (GCG) dan transparansi finansial 17; serta (5) Gereja Misonal yang mengubah metrik kesuksesannya dari “pemeliharaan” menjadi “transformasi”.18
Tulisan ini menyimpulkan bahwa ekklesiologi Protestan di masa depan harus berfungsi sebagai “organisasi pelayan” dalam model piramida terbalik, di mana struktur sinodal dan klerus ada untuk melayani, memperlengkapi, dan melepaskan kaum awam untuk melaksanakan misi gereja di dunia.
Pengantar: Paradoks Protestanisme

Protestanisme lahir dari sebuah krisis ekklesiologis. Ketika Martin Luther memakukan 95 Tesis-nya pada tahun 1517, ia tidak bermaksud mendirikan gereja baru; ia bermaksud mereformasi gereja yang ada. Namun, inti dari teologinya—Sola Fide (keselamatan hanya oleh iman) 19, Sola Gratia (hanya oleh anugerah), Solus Christus (hanya melalui Kristus), dan Sola Scriptura (hanya berdasarkan Alkitab) 20—secara fundamental menantang struktur otoritas Gereja Roma Katolik.
Ini menciptakan paradoks sentral yang telah mendefinisikan Protestanisme selama 500 tahun. Di satu sisi, penekanannya pada kebenaran doktrinal yang digali dari Alkitab (Sola Scriptura) telah menjadi kekuatannya yang terbesar, membebaskan individu dari apa yang dianggap sebagai tradisi yang menindas dan memicu pembaruan rohani yang tak terhitung jumlahnya.19 Di sisi lain, prinsip ini sekaligus menjadi kelemahan ekklesiologis terbesarnya. Sejarawan Jaroslav Pelikan menyebut Reformasi sebagai “kebutuhan yang tragis” (tragic necessity).3 Bagi kaum Reformator, “kebenaran harus diutamakan di atas persatuan”.3
Konsekuensi dari pilihan ini sangat besar. Tanpa Magisterium terpusat (Paus) untuk bertindak sebagai penengah akhir dalam perselisihan doktrinal, Protestanisme memiliki “DNA” fragmentasi yang tertanam di dalamnya. Jika kebenaran lebih penting daripada persatuan, maka perpecahan (schism) tidak hanya dapat dibenarkan tetapi juga diwajibkan secara teologis ketika kelompok-kelompok tidak setuju atas interpretasi Alkitab. Ini menjelaskan mengapa saat ini terdapat ratusan, bahkan ribuan, denominasi Protestan.3
Tulisan ini berargumen bahwa masalah terbesar Protestanisme bukanlah ketiadaan kesatuan teologis—itu adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari prinsip-prinsip dasarnya. Masalahnya adalah “tidak adanya ekklesiologi Protestan” 3—yaitu, kegagalan untuk mengembangkan struktur tata kelola dan manajemen organisasi yang kuat untuk mengelola perbedaan-perbedaan ini secara konstruktif. Tulisan ini akan menelusuri sejarah “masalah” ekklesiologis ini, membandingkan berbagai “solusi” organisasi yang telah dikembangkan, dan mengusulkan kerangka kerja manajemen strategis yang diperlukan bagi gereja untuk berkembang di abad ke-21.
BAGIAN 1: ARTIKEL – SEJARAH PERKEMBANGAN DOKTRIN GEREJA (EKKLESIOLOGI) PROTESTAN

Sejarah pemikiran Protestan tentang “gereja” adalah sejarah pencarian terus-menerus akan otoritas, kemurnian, dan relevansi. Perjalanan ini dapat dibagi menjadi empat era utama: fondasi Reformasi, divergensi awal, reaksi-reaksi era modern, dan pergeseran kontemporer.
1.1. Fondasi Reformasi: “Kebenaran di Atas Kesatuan”
Fondasi ekklesiologi Protestan diletakkan oleh Martin Luther antara tahun 1517 dan 1521. Dua prinsipnya memiliki dampak langsung pada doktrin gereja:
- Prinsip Material: Sola Fide. Ajaran pembenaran “hanya oleh iman” 19 adalah terobosan pastoral Luther. Ini mendefinisikan ulang hubungan individu dengan Tuhan, dari hubungan yang dimediasi oleh sakramen dan perbuatan baik menjadi hubungan langsung melalui iman.19
- Prinsip Formal: Sola Scriptura. Ajaran “hanya oleh Alkitab” 1 adalah bom ekklesiologis. Luther, khususnya dalam risalahnya tahun 1520 On the Babylonian Captivity of the Church, secara radikal memindahkan otoritas tertinggi dari tradisi gereja dan Paus ke Alkitab.20
Ketika dua prinsip ini digabungkan, mereka menghasilkan konsep revolusioner: “Imamat Am Semua Orang Percaya” (priesthood of all believers).2 Luther berargumen bahwa tidak ada perbedaan spiritual atau ontologis antara kaum awam (laity) dan kaum klerus (clergy); semua orang percaya adalah imam.2
Implikasi organisasi dan manajerial dari hal ini sangat besar. “Imamat Am Semua Orang Percaya” bukan hanya konsep teologis; itu adalah desentralisasi radikal atas otoritas interpretasi. Jika Alkitab adalah satu-satunya otoritas, dan semua orang percaya adalah imam yang dapat membacanya, lalu siapa yang menjadi penengah ketika terjadi perbedaan interpretasi? Dalam model Katolik, Magisterium adalah jawabannya. Dalam model Protestan, tidak ada jawaban tunggal.
Oleh karena itu, “kebutuhan tragis” untuk memisahkan diri dari Roma 3 bukanlah peristiwa satu kali. Itu adalah preseden. Keputusan untuk mengutamakan “kebenaran” di atas “kesatuan” 3 menjadi DNA genetik dari Protestanisme. Setiap perpecahan denominasi dalam 500 tahun berikutnya pada dasarnya adalah pengulangan dari keputusan awal Luther: “Interpretasi saya (atau komunitas saya) atas kebenaran Alkitab lebih penting daripada menjaga kesatuan institusional.” Ini adalah akar dari masalah “tidak adanya ekklesiologi Protestan yang tunggal” 3 dan fragmentasi yang terus-menerus.
1.2. Divergensi Awal: Gereja Negara (Magisterial) vs. Gereja Umat Pilihan (Radikal)
Fragmentasi ini tidak membutuhkan waktu lama untuk muncul. Hampir segera, Reformasi terpecah menjadi dua kubu utama, tidak hanya berdasarkan teologi (misalnya, Perjamuan Kudus), tetapi berdasarkan ekklesiologi:
- Reformasi Magisterial (Lutheran, Calvinis/Reformed): Kelompok ini (termasuk Luther, Ulrich Zwingli, dan John Calvin) mempertahankan aliansi dengan otoritas sipil atau “Magistrat”.4 Mereka percaya pada model “Gereja Negara” (state church) 4 di mana gereja dan negara bekerja sama untuk mengatur masyarakat. Ekklesiologi mereka adalah corpus permixtum (tubuh yang bercampur)—gereja yang terlihat (visible church) selalu terdiri dari orang-orang percaya sejati dan orang-orang yang belum percaya, yang mencakup seluruh komunitas.2
- Reformasi Radikal (Anabaptis): Kelompok ini (seperti Mennonit dan Hutterit) menolak aliansi gereja-negara.21 Mereka memperjuangkan “gereja umat pilihan” yang “murni”, yang terdiri hanya dari mereka yang telah membuat pengakuan iman pribadi dan menerima baptisan dewasa. Ekklesiologi mereka adalah corpus purum (tubuh yang murni), terpisah dari negara dan “dunia”.21
Perdebatan antara Zwingli dan Anabaptis 21 adalah perdebatan fundamental tentang definisi keanggotaan gereja. Dari dua aliran ini, muncullah dua model tata kelola utama. John Calvin di Jenewa, diikuti oleh John Knox di Skotlandia, mengembangkan Polity Presbiterian: sebuah sistem pemerintahan gereja oleh majelis penatua (presbyters) yang dipilih. Ini adalah upaya cemerlang untuk menciptakan tatanan institusional dan akuntabilitas yang alkitabiah (menurut mereka) tanpa kembali ke model Uskup (Episkopal).5 Sistem ini menciptakan struktur akuntabilitas berlapis: Session (Majelis Jemaat), Presbytery (Klasis), Synod (Sinode), dan General Assembly (Sidang Umum).5
Sementara itu, tradisi Anabaptis menjadi cikal bakal Polity Kongregasional, di mana setiap jemaat lokal bersifat otonom.6
1.3. Era Modern: Tiga Reaksi terhadap Liberalisme Teologis
Gelombang besar perubahan berikutnya datang sebagai respons terhadap Abad Pencerahan, yang mengagungkan akal budi di atas wahyu.23 Teologi Liberal abad ke-19 mencoba mendamaikan Kekristenan dengan pemikiran modern, seringkali dengan mengorbankan doktrin-doktrin inti seperti ineransi Alkitab dan keilahian Kristus. Hal ini memicu setidaknya tiga gerakan tandingan yang sangat membentuk ekklesiologi Protestan modern:
- Pietisme (Reaksi Hati): Muncul sebagai reaksi terhadap “Ortodoksi” Protestan yang kaku, dingin, dan intelektualis. Pietisme tidak terlalu peduli dengan struktur gereja tetapi sangat peduli pada kesalehan pribadi, pertobatan yang tulus, dan “gereja di dalam gereja” (ecclesiola in ecclesia)—persekutuan kelompok kecil orang-orang percaya yang berkomitmen.23
- Social Gospel (Reaksi Sosial): Berkembang pesat di Amerika Serikat (sekitar 1890–1920).24 Para pendukungnya, seperti Walter Rauschenbusch, berpendapat bahwa gereja telah gagal total karena hanya fokus pada keselamatan individu sambil mengabaikan dosa-dosa sosial (kemiskinan, kondisi kerja yang tidak manusiawi).25 Ekklesiologi Social Gospel adalah gereja sebagai agen transformasi sosial; misinya adalah untuk “membangun Kerajaan Allah” di bumi melalui aksi sosial dan politik.25
- Fundamentalisme (Reaksi Doktrinal): Gerakan ini muncul secara khusus untuk mempertahankan “fundamental” iman (misalnya, ineransi Alkitab, kelahiran perawan, kebangkitan jasmani) dari serangan Teologi Liberal.27 Ekklesiologi mereka adalah ekklesiologi separatis.28
Ketiga gerakan ini pada dasarnya berdebat tentang fungsi utama gereja: Apakah gereja adalah (1) tempat pembinaan kesalehan pribadi, (2) agen perubahan sosial, atau (3) benteng pertahanan kemurnian doktrin?
Ekklesiologi Fundamentalis 29 adalah ekspresi paling ekstrem dari “DNA” genetik Luther. Bagi mereka, “Kemurnian Gereja ditekankan di atas kedamaian Gereja” (Purity of the Church was emphasized above the peace of the Church).29 Mereka siap berpisah (separatis) 28 dari denominasi, seminari, atau dewan gereja mana pun yang mereka anggap “liberal”, karena mereka teguh percaya bahwa “persatuan dalam kepalsuan bukanlah persatuan sama sekali”.3 Gerakan “Neo-Evangelical” (seperti Billy Graham) kemudian muncul dari Fundamentalisme. Perbedaan utama mereka bukan teologi (keduanya konservatif), melainkan ekklesiologi: Fundamentalis menuntut separasi 28, sementara Neo-Evangelical percaya pada keterlibatan (engagement) untuk memenangkan kembali institusi.
Warisan ekklesiologi separatis ini sangat penting untuk memahami mengapa banyak gereja Injili dan Pentakosta di Indonesia secara historis curiga terhadap gerakan oikumenis seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).30 Mereka memandang PGI sebagai “liberal” atau sinkretis, dan naluri separatis mereka—warisan dari perdebatan ini—mendorong mereka untuk membentuk dewan mereka sendiri (seperti PGPI atau PGLII).30
1.4. Ekklesiologi Kontemporer: Gereja dalam Dunia yang Cair dan Terdekolonisasi
Abad ke-21 telah membawa pergeseran yang sama seismiknya dengan Reformasi, yang didorong oleh tiga kekuatan:
- Pergeseran ke Selatan (Global South): Pusat demografis Kekristenan telah secara dramatis bergeser dari “Global North” (Eropa/Amerika Utara) ke “Global South” (Afrika, Asia, Amerika Latin).32 Pada tahun 1980, mayoritas orang Kristen sudah tinggal di Global South. Pada tahun 2050, diperkirakan 77% dari semua orang Kristen akan tinggal di sana.32
- Postmodernisme (Emerging Church Movement): Postmodernisme menolak “narasi besar”, institusi terpusat, dan batas-batas yang kaku. Sebagai respons, “Emerging Church Movement” (ECM) mengusulkan ekklesiologi yang relasional, datar/flat (anti-hierarkis), dekonstruktif, dan melintasi batas-batas denominasi.33
- Revolusi Digital (Gereja Cair): Teknologi digital, yang adopsinya dipercepat secara eksponensial oleh pandemi COVID-19, menantang asumsi paling dasar tentang gereja: “Apakah gereja harus berkumpul secara fisik?” Ini telah melahirkan konsep teoretis seperti “Gereja Cair” (Liquid Church) atau “Gereja Elastis” (Elastic Church) 12—sebuah ekklesiologi yang dapat merentang dengan mulus antara pertemuan fisik (Analog), pertemuan hibrid (Digilog/Phygital), dan komunitas murni virtual (E-Church).12
Di konteks Global South seperti Indonesia, pergeseran ini juga memicu tuntutan untuk dekolonisasi teologis. Para teolog seperti I Wayan Mastra di Bali (GKPB) menyerukan “dekolonisasi hermeneutis”—sebuah proses sadar untuk membebaskan gereja dari warisan teologi kolonial Barat yang tidak kontekstual dan membangun teologi (dan ekklesiologi) yang relevan secara lokal.16
Masa depan ekklesiologi Protestan tidak lagi ditentukan di Jenewa, Wittenberg, atau Roma. Ia sedang ditempa dalam realitas digital 36 dan dalam konteks budaya yang dinamis di Jakarta, Nairobi, Seoul, dan São Paulo. Model-model ekklesiologi yang diimpor dari Eropa (Lutheran 4, Presbiterian 5) tidak lagi dapat diterima begitu saja, menuntut inovasi tata kelola yang kontekstual.
BAGIAN 2: ANALISIS KOMPARATIF – TATA KELOLA (POLITY) GEREJA PROTESTAN

Ekklesiologi (doktrin gereja) diekspresikan secara organisasional melalui “polity” (tata kelola gereja). Tata kelola ini menentukan: “Siapa yang memegang otoritas?” dan “Bagaimana keputusan dibuat?” Secara global, model-model Protestan dapat dikategorikan ke dalam tiga model dasar, yang kemudian diadaptasi secara unik dalam konteks Indonesia.
2.1. Tiga Model Dasar Tata Kelola (Polity) Global
- Model Episkopal (Hierarkis)
- Definisi: Otoritas mengalir dari atas ke bawah (top-down). Otoritas tertinggi dipegang oleh para Uskup (Bishops), yang memiliki yurisdiksi atas wilayah dan jemaat-jemaat di dalamnya.37
- Contoh: Gereja Anglikan 38, Gereja Lutheran di Skandinavia (misalnya, Gereja Swedia yang mempertahankan suksesi apostolik episkopal) 4, Gereja Metodis (dalam beberapa bentuk).
- Kekuatan & Kelemahan: Kekuatannya terletak pada kesatuan doktrinal, efisiensi administrasi terpusat, dan kesinambungan historis. Kelemahannya adalah kekakuan, birokrasi, dan potensi jarak antara pimpinan (uskup) dan jemaat lokal.
- Inovasi Manajerial: Komuni Anglikan, untuk mengelola perbedaan teologis yang tajam di dalam polity episkopalnya, telah secara informal mengadopsi konsep “Three Streams” (Tiga Aliran): Evangelikal (Injili), Katolik (Anglo-Catholic), dan Karismatik.38 Ini adalah sebuah strategi manajemen sadar untuk menjaga kesatuan institusional dengan mengorbankan keseragaman doktrinal—sebuah pembalikan dari prinsip asli Luther.3
- Model Presbiterial (Representatif)
- Definisi: Otoritas bersifat representatif, mirip dengan sistem demokrasi parlementer atau federal. Jemaat lokal memilih “penatua” (presbyters atau elders) untuk memimpin mereka (disebut Session atau Majelis Jemaat).5 Majelis-majelis jemaat ini kemudian mengirim perwakilan ke badan yang lebih tinggi (Klasis/Presbytery), yang pada gilirannya mengirim perwakilan ke badan yang lebih tinggi lagi (Sinode/General Assembly).5
- Contoh: Gereja-gereja Reformed dan Presbiterian di seluruh dunia (misalnya, PCUSA di AS).44
- Kekuatan & Kelemahan: Otoritas mengalir dua arah: bottom-up (pemilihan perwakilan) dan top-down (otoritas badan yang lebih tinggi atas jemaat lokal, misalnya dalam penahbisan pendeta).5 Kekuatannya adalah akuntabilitas, checks and balances, dan partisipasi awam dalam pengambilan keputusan. Kelemahannya adalah bisa menjadi sangat birokratis dan lambat dalam pengambilan keputusan.
- Model Kongregasional (Otonom)
- Definisi: Otoritas tertinggi berada di tangan anggota jemaat lokal. Setiap jemaat bersifat otonom penuh.6 Pendeta “dipanggil” oleh jemaat dan bertanggung jawab langsung kepada jemaat.6
- Contoh: Gereja Baptis, Gereja-gereja Non-denominasi 45, Gereja-gereja Pentakosta (dalam banyak kasus).
- Kekuatan & Kelemahan: Kekuatannya adalah otonomi lokal, fleksibilitas, dan partisipasi anggota yang tinggi.6 Kelemahannya adalah kerentanan terhadap perpecahan (konflik seringkali diselesaikan dengan anggota “keluar” dan mendirikan gereja baru), isolasi teologis, dan potensi “tirani mayoritas” atas pendeta atau minoritas jemaat.6
2.2. Studi Kasus Komparatif Ekklesiologi di Indonesia
Gereja-gereja Protestan di Indonesia tidak hanya mengimpor model-model ini; mereka telah mengadaptasi dan mengembangkannya menjadi bentuk-bentuk hibrid yang unik, seringkali sebagai respons terhadap realitas budaya dan etnis.
Studi Kasus 1: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
- Model Tata Kelola: Episkopal-Sinodal.46 Ini adalah model hibrid yang menggabungkan otoritas terpusat dari Episkopalisme dengan struktur perwakilan dari Presbiterianisme.
- Konsep Teologis Kunci: Kristokrasi (Pemerintahan oleh Kristus).7 HKBP secara eksplisit menolak demokrasi murni (karena kebenaran tidak ditentukan oleh suara terbanyak) dan teokrasi (pemerintahan oleh kasta pendeta). Kristokrasi adalah konsep di mana Kristus adalah Kepala.7
- Struktur Kepemimpinan: Dipimpin oleh seorang Ephorus, yang berfungsi sebagai gembala dan pemimpin tertinggi.47 Ephorus dipilih oleh Sinode Agung (elemen Sinodal), tetapi setelah terpilih, ia memegang otoritas eksekutif dan spiritual yang signifikan (elemen Episkopal), berfungsi sebagai “representasi figuratif” dari Kristus sebagai kepala gereja.7
- Analisis Organisasional: Konsep “Kristokrasi” adalah sebuah inovasi manajemen strategis yang brilian. Dalam konteks organisasi berbasis etnis yang sangat besar dan secara historis rentan terhadap faksionalisme, Kristokrasi berfungsi sebagai alat teologis untuk melegitimasi otoritas terpusat. Dengan menyatakan bahwa pemerintahan adalah oleh Kristus, bukan oleh “suara rakyat” (demokrasi) atau “suara pendeta” (teokrasi), kepemimpinan HKBP (Ephorus) diberikan mandat untuk membuat keputusan strategis yang kuat, memberikan stabilitas dan arahan yang jelas bagi sebuah denominasi raksasa.7
Studi Kasus 2: Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)
- Model Tata Kelola: Presbiterial-Sinodal murni.49
- Konsep Teologis Kunci: Kepemimpinan fungsional melalui Pelayan Khusus (Pelsus).8
- Struktur Kepemimpinan: Kepemimpinan di aras sinode dipegang oleh Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) 49, dan di aras jemaat oleh Majelis Jemaat. Keunikan GMIM terletak pada sistem Pelsus, yang terdiri dari Penatua dan Syamas (Diaken) yang dipilih oleh jemaat untuk periode tertentu.50
- Analisis Organisasional: Jika HKBP berfokus pada sentralisasi kepemimpinan, GMIM berfokus pada distribusi pelayanan. Sistem Pelsus adalah strategi manajemen sumber daya manusia (SDM) awam yang masif dan sangat terstruktur.9 Melalui program wajib seperti Katekisasi Calon Pelsus 8, GMIM secara efektif menjalankan “akademi kepemimpinan” internal yang berkelanjutan. Ini mendistribusikan beban pelayanan (manajemen jemaat oleh Penatua, pelayanan diakonia/keuangan oleh Syamas) 51 dari pendeta ke ribuan kaum awam yang terlatih. Ini menciptakan organisasi yang sangat partisipatif, tangguh (resilient), dan memiliki jangkauan mendalam ke tingkat “kolom” (unit jemaat terkecil).
Studi Kasus 3: Gereja Kristen Indonesia (GKI)
- Model Tata Kelola: Presbiterial-Sinodal.53
- Konsep Teologis Kunci: Kepemimpinan Kolektif-Kolegial.10
- Struktur Kepemimpinan: GKI unik dalam penekanannya pada kesetaraan absolut antara Pendeta dan Penatua dalam kepemimpinan jemaat.10 Majelis Jemaat, yang terdiri dari semua pejabat gerejawi (pendeta dan penatua) di jemaat tersebut, adalah badan pimpinan tertinggi di tingkat lokal.10 Keputusan diambil secara bersama-sama.
- Analisis Organisasional: Model GKI adalah antitesis dari model HKBP. Jika HKBP memusatkan otoritas figuratif pada Ephorus, GKI meratakan (flattens) otoritas secara radikal di tingkat lokal. Dari perspektif manajemen organisasi, model “kolektif-kolegial” 10 memaksimalkan buy-in (rasa memiliki), konsensus, dan checks and balances. Namun, ini menciptakan risiko besar pada efisiensi. Pengambilan keputusan bisa menjadi sangat lambat dan rentan terhadap gridlock (kebuntuan) jika konsensus tidak tercapai. Pengenalan alat manajemen modern seperti “evaluasi kinerja pelayanan penatua” 10 adalah upaya untuk memasukkan akuntabilitas ke dalam struktur yang sangat horizontal ini.
Studi Kasus 4: Spektrum Pentakosta & Karismatik (GPdI, GSJA, GBI)
- Model Tata Kelola: Sangat beragam, tetapi umumnya cenderung Kongregasional dalam praktiknya (otonomi jemaat lokal sangat tinggi), meskipun bernaung di bawah sinode.55 Gereja-gereja ini sering terhubung dalam Federasi yang longgar, seperti Persekutuan Gereja-Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI).30
- Dinamika Kunci: Sejarah mereka yang berakar pada Fundamentalisme (lihat Bagian 1.3) membuat banyak gereja Pentakosta awalnya menolak bergabung dengan PGI, yang mereka anggap liberal.30 Mereka mengutamakan kemurnian doktrin (terutama pengalaman Roh Kudus) di atas kesatuan oikumenis.30
- Tren Baru (Inovasi): Studi kasus Gereja Sidang-sidang Jemaat Allah (GSJA) menunjukkan sebuah evolusi strategis yang penting: munculnya “Ekklesiologi Hibrid Pentakostal”.11
- Analisis Organisasional: Gerakan Pentakosta tradisional kuat dalam pengalaman karismatik (roh) dan penginjilan (pertumbuhan), tetapi seringkali lemah dalam struktur liturgis (tatanan) dan teologi oikoumenis (keterbukaan). “Ekklesiologi Hibrid” yang dijelaskan dalam sebuah studi kasus GSJA 11 adalah inovasi strategis yang sadar. Mereka secara proaktif mengimpor praktik “Liturgis” (seperti penggunaan leksionari dan Perjamuan Kudus yang lebih sentral) untuk memberikan kedalaman dan stabilitas pada ibadah mereka. Mereka juga mengadopsi sikap “Oikoumenis” (termasuk bergabung dengan PGI) 11 untuk keluar dari isolasi fundamentalis. Ini adalah tanda kedewasaan gerakan, di mana mereka secara sadar menambal kelemahan ekklesiologis mereka tanpa kehilangan kekuatan karismatik inti mereka.
Tabel 2.1: Matriks Perbandingan Ekklesiologi Gereja-Gereja Besar di Indonesia
Kriteria | HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) | GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) | GKI (Gereja Kristen Indonesia) | Pentakosta (Contoh: GSJA) |
Model Tata Kelola | Episkopal-Sinodal (Hibrid) 46 | Presbiterial-Sinodal (Murni) 49 | Presbiterial-Sinodal (Hibrid) [53] | Kongregasional (dalam praktik) / Federasi Sinodal 11 |
Konsep Teologis Kunci | Kristokrasi (Pemerintahan Kristus) 7 | Pelayan Khusus (Pelsus) 8 | Kolektif-Kolegial (Kepemimpinan Setara) 10 | Ekklesiologi Hibrid (Liturgis, Karismatis, Oikoumenis) 11 |
Otoritas Tertinggi (de facto) | Ephorus (secara eksekutif) & Sinode Agung (legislatif) [48] | Majelis Sinode (BPMS) 49 & Majelis Jemaat (di tingkat lokal) | Majelis Jemaat (Kolektif Penatua & Pendeta) 10 | Jemaat Lokal / Gembala Sidang (Sangat otonom) |
Proses Pemilihan Pimpinan | Ephorus dipilih oleh Sinode Agung 7 | Pelsus (Penatua/Syamas) dipilih oleh anggota jemaat per periode 50 | Penatua dipilih oleh anggota jemaat 10 | Gembala Sidang biasanya dipanggil/diangkat (bervariasi) |
Kekuatan Manajerial | Kepemimpinan terpusat yang kuat; pengambilan keputusan cepat (potensial) | Manajemen SDM awam yang masif & terstruktur; ketahanan organisasi (resilience) | Partisipasi tinggi; buy-in kuat; checks & balances | Pertumbuhan cepat; kelincahan (agility); inovasi ibadah |
Kelemahan Manajerial | Rentan otokrasi; jarak antara pimpinan & jemaat | Birokratis; potensi resistensi terhadap perubahan dari Sinode | Pengambilan keputusan lambat; rentan gridlock (kebuntuan) | Kontrol kualitas teologi lemah; rentan perpecahan; isolasionis (secara historis) |
BAGIAN 3: REKOMENDASI – KERANGKA IDEAL EKKLESIOLOGI ADAPTIF (ASPEK MANAJERIAL DAN TEOLOGIS)

Berdasarkan analisis historis dan komparatif, jelas bahwa tidak ada satu pun “cetakan biru” ekklesiologi yang sempurna. Tantangannya bukanlah menemukan struktur final, melainkan membangun kemampuan beradaptasi. Bagian ini mengusulkan kerangka kerja untuk ekklesiologi Protestan yang adaptif, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip manajemen strategis sebagai ekspresi ketaatan teologis.
3.1. Diagnosis: Organisme dan Organisasi – Reformasi sebagai Prinsip Manajemen
Kesalahan umum dalam diskusi gereja adalah mempertentangkan “organisme” (Tubuh Kristus yang rohaniah) dengan “organisasi” (struktur manusiawi). Gereja adalah keduanya.57 Seringkali, gereja mengalami disfungsi organisasi (manajemen SDM yang buruk 18, pengambilan keputusan yang tidak jelas 58, tata kelola yang tidak akuntabel 17) namun menyebutnya sebagai “masalah spiritual”.
Prinsip manajemen modern—seperti perencanaan strategis 59, manajemen kinerja 18, dan tata kelola yang baik 17—bukanlah “sekularisasi” gereja. Itu adalah implementasi praktis dari mandat Alkitab tentang penatalayanan (stewardship).57
Motto Reformasi yang paling terkenal adalah Ecclesia reformata, semper reformanda (Gereja yang telah direformasi, harus terus-menerus mereformasi diri). Dalam bahasa manajemen abad ke-21, semper reformanda adalah prinsip Continuous Quality Improvement (CQI) atau Agile Methodology. Ini berarti “ekklesiologi ideal” bukanlah sebuah struktur statis, melainkan sebuah sistem operasi yang memiliki mekanisme bawaan untuk terus-menerus mengevaluasi diri dan beradaptasi dengan tantangan baru. Kegagalan untuk beradaptasi, oleh karena itu, bukanlah sekadar kegagalan manajerial; itu adalah kegagalan teologis untuk taat pada semper reformanda.
3.2. Kerangka Ekklesiologi Transformatif: Lima Pilar Penyesuaian (Analisis PESTLE+)
Kerangka ideal harus mampu merespons tantangan-tantangan kunci di bidang Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Lingkungan (Ekologi), dan Hukum/HAM.
Pilar 1: (Teknologi) Gereja yang Lincah (Agile Church)
- Tantangan: Revolusi digital 36 dan pengalaman pandemi telah secara permanen mengubah ekspektasi jemaat. Gereja tidak lagi bisa mengandalkan model “datang ke gedung di hari Minggu”.
- Rekomendasi: Mengadopsi model “Gereja Elastis” (Elastic Church).12 Tata Gereja (ekklesiologi) harus secara resmi mengakui, menganggarkan, dan mengelola tiga mode komunitas sebagai satu kesatuan yang utuh: (1) Analog (persekutuan fisik), (2) Digilog/Phygital (ibadah hibrid, kelompok kecil hibrid), dan (3) Virtual/E-Church (komunitas murni online yang melayani diaspora atau mereka yang tidak dapat hadir secara fisik).12
- Implikasi Manajerial (SDM): Ini menuntut revolusi dalam Manajemen SDM gereja.18 Deskripsi pekerjaan (job description) Pendeta, Penatua, dan Syamas 8 harus diperluas dari “berkhotbah dan penggembalaan” 61 menjadi “manajemen komunitas digital, fasilitator jaringan online, dan produser konten teologis”.62 Program katekisasi pelsus 8 dan kurikulum seminari harus dirombak total untuk mencerminkan realitas phygital ini.
Pilar 2: (Sosial) Gereja yang Inklusif dan Adil
- Tantangan: Tekanan sosial terkait isu keadilan gender (struktur patriarki) 13 dan pluralisme (khususnya perdebatan seputar LGBTQ+).14
- Rekomendasi (Gender): Melakukan audit struktural terhadap struktur patriarki dalam tata kelola gereja.13 Ini bukan hanya masalah keadilan sosial 65; ini adalah masalah efektivitas manajemen. Penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan yang inklusif “membawa ide-ide baru dan inovatif” serta “kebijakan yang lebih relevan dan responsif terhadap kebutuhan jemaat”.64 Gereja yang secara sistematis meminggirkan 50% dari bank talenta (perempuan) dari peran kepemimpinan puncak 13 sedang beroperasi dengan kapasitas di bawah optimal.
- Rekomendasi (LGBTQ+ & Pluralisme): Isu ini adalah “tes stres” terbesar bagi ekklesiologi Protestan saat ini.66 Ini mengadu “kebenaran” (interpretasi doktrinal) 14 dengan “kesatuan” (institusi).67 Di era Luther, responsnya adalah “kebenaran di atas kesatuan” 3, yang menyebabkan perpecahan. Jika gereja ingin menghindari perpecahan yang lebih parah, strategi organisasi harus dibalik: menciptakan ekklesiologi yang dapat mengelola perbedaan teologis. Rekomendasi strategisnya bukanlah “memilih satu pandangan” (yang hanya akan memicu perpecahan), melainkan: (1) Mengadopsi polity latitudinarian (“gereja luas”) 38 yang memungkinkan adanya keragaman pandangan dalam isu-isu non-esensial. (2) Membangun mekanisme manajemen konflik yang kuat dalam Tata Gereja, sehingga perbedaan teologis 66 tidak secara otomatis menjadi perpecahan organisasi.
Pilar 3: (Ekologi & Budaya) Gereja yang Kontekstual dan Membumi
- Tantangan: Krisis ekologi global 68 dan warisan teologi kolonial yang seringkali anthropocentric (berpusat pada manusia) 15 dan terpisah dari realitas budaya lokal.
- Rekomendasi: Mengadopsi dua konsep kunci: (1) Teologi-Eko 15 sebagai inti misi gereja, memandang gereja sebagai penatalayan dan pemelihara ciptaan, bukan hanya “penyelamat jiwa” dari dunia yang akan hancur. (2) Dekolonisasi Hermeneutis 16 sebagai metode formal untuk menjadi relevan.
- Implikasi Manajerial (Strategi): Model teologi kontekstual-transformatif I Wayan Mastra 16 harus diadopsi bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai Siklus Perencanaan Strategis (Strategic Planning Cycle) yang formal bagi gereja:
- Analisis Konteks: Identifikasi akar masalah sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi lokal.
- Formulasi Visi: Kembangkan visi transformatif yang holistik (spiritual, sosial, ekonomi, budaya).16
- Pembaruan Teologis: Lakukan “dekolonisasi hermeneutis” 16 untuk memastikan teologi gereja menjawab konteks tersebut, bukan konteks Eropa abad ke-19.
- Implementasi Praksis: Rancang program yang terukur di bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan advokasi ekologi sebagai bagian dari praksis holistik gereja.16
Pilar 4: (Hukum & Politik) Gereja sebagai Saksi Publik yang Kredibel
- Tantangan: Gereja hidup sebagai badan hukum di bawah UUD 1945 (jaminan kebebasan beragama Pasal 29) 69, namun juga menghadapi tantangan hukum, diskriminasi, dan kesulitan perizinan.70 Di sisi lain, gereja dipanggil untuk menjadi suara profetis melawan ketidakadilan dan korupsi.
- Rekomendasi: Kredibilitas publik gereja tidak hanya bergantung pada teologinya, tetapi pada tata kelolanya. Gereja harus menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) 17 sebagai kesaksian publiknya.
- Implikasi Manajerial (Tata Kelola): Poin terlemah dalam kesaksian publik banyak gereja adalah keuangan dan tata kelola internal. Ekklesiologi ideal harus mencakup: (1) Transparansi Keuangan 17 sebagai kewajiban teologis, bukan sekadar kepatuhan hukum. (2) Akuntabilitas kepemimpinan (Ephorus, BPMS, Gembala Sidang) melalui mekanisme audit internal dan eksternal yang independen. (3) Kepatuhan Hukum (Rule of Law) internal, di mana Tata Gereja 50 ditegakkan secara adil, transparan, dan konsisten. Gereja tidak bisa secara profetis mengkritik korupsi di pemerintahan jika tata kelola internalnya sendiri tertutup dan otokratis.17 Good governance adalah prasyarat untuk pelayanan profetis.
Pilar 5: (Misi) Gereja yang Misional dan Terukur
- Tantangan: Banyak gereja (terutama mainline) menjadi “sibuk ke dalam” (inward-looking), di mana sebagian besar anggaran, waktu, dan SDM 18 dihabiskan untuk memelihara anggota dan aset yang ada, bukan untuk mengutus umat ke dunia.
- Rekomendasi: Menggeser fokus dari “ekklesiologi pemeliharaan” (maintenance ecclesiology) ke “ekklesiologi misional” (missional ecclesiology). Tujuan utama gereja bukanlah untuk mengumpulkan anggota, tetapi untuk mengutus anggota.
- Implikasi Manajerial (Manajemen Kinerja): Ini memerlukan perubahan fundamental dalam Key Performance Indicators (KPI).18 KPI gereja yang sukses bukanlah (hanya) “jumlah kehadiran ibadah Minggu” atau “anggaran yang seimbang”, melainkan: (1) Persentase jemaat yang terlibat aktif dalam pelayanan di luar tembok gereja.18 (2) Efektivitas program dalam mentransformasi komunitas lokal (menggunakan model Mastra 16). (3) Kualitas kolaborasi dan koordinasi antar pelayan.18 Pengambilan keputusan 58 harus didasarkan pada visi (tujuan misi) 58, bukan tradisi (kebiasaan masa lalu).
3.3. Kesimpulan Strategis: Piramida Terbalik – Ekklesiologi sebagai Pelayanan
Ekklesiologi ideal untuk Protestanisme abad ke-21 adalah ekklesiologi yang berfungsi sebagai Organisasi Pelayan (Servant Organization). Struktur ini secara sadar membalik piramida hierarki tradisional.
Dalam model ini:
- Paling Atas (Fokus Utama): Masyarakat, komunitas, dan dunia yang perlu dilayani dan dijangkau.
- Tingkat 2: Jemaat Awam / Kaum Laity (yang diperlengkapi dan diutus untuk melayani dunia tersebut).
- Tingkat 3: Pelayan Khusus / Penatua / Syamas (yang berfungsi sebagai manajer lini depan, melatih dan memperlengkapi jemaat awam).8
- Tingkat 4: Pendeta / Pastor (yang memberi visi teologis, pengajaran mendalam, dan menggembalakan para pelayan).
- Paling Bawah (Fondasi): Sinode / Ephorus / BPMS / Majelis Pusat (yang berfungsi sebagai pusat layanan pendukung, menyediakan sumber daya, strategi makro, pelatihan 52, dan good governance 48 untuk mendukung semua tingkat di atasnya).
Ini adalah perwujudan organisasional dan manajerial dari “Imamat Am Semua Orang Percaya” 2 yang dicita-citakan Luther 500 tahun lalu. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen strategis, manajemen SDM yang efektif, dan tata kelola organisasi yang transparan, gereja tidak sedang menjadi “sekuler”. Sebaliknya, gereja sedang menjadi penatalayan yang lebih baik atas sumber dayanya, dan akhirnya, menjadi lebih setia pada panggilan semper reformanda—untuk terus-menerus mereformasi dirinya demi misi Allah di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
- A Brief Introduction to sola scriptura – Lutheran Theology – WordPress.com, accessed November 3, 2025, https://lutherantheology.wordpress.com/2011/01/18/a-brief-introduction-to-sola-scriptura/
- Ecclesiology of the Reformers (2): Martin Luther | Dwight Gingrich Online, accessed November 3, 2025, https://dwightgingrich.com/ecclesiology-of-reformers-2-martin-luther/
- The Problem with Protestant Ecclesiology – Daniel B. Wallace, accessed November 3, 2025, https://danielbwallace.com/2012/03/18/the-problem-with-protestant-ecclesiology/
- Lutheranism – Church, Doctrine, Reformation | Britannica, accessed November 3, 2025, https://www.britannica.com/topic/Lutheranism/Organization
- Presbyterian polity – Wikipedia, accessed November 3, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Presbyterian_polity
- The five models of church governance (and how they cope under pressure) – Andy Judd, accessed November 3, 2025, https://www.andyjudd.com/blog/the-five-models-of-church-governance-and-how-they-cope-under-pressure
- Hukum Gereja | PDF | Agama & Spiritualitas – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/document/577088599/Hukum-Gereja
- Materi Katekisasi Calon Pelsus Tahap II | PDF – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/document/892972199/Materi-Katekisasi-Calon-Pelsus-Tahap-II
- Wagub Sulut Steven Kandouw Dorong Pendidikan GMIM Semakin, accessed November 3, 2025, https://www.manadotempo.com/2024/06/12/wagub-sulut-steven-kandouw-dorong-pendidikan-gmim-semakin-maju-dan-meningkat/
- Percakapan Gerejawi tentang Tata Gereja GKI 2 – GKI Sinode …, accessed November 3, 2025, https://admin.gkiswjabar.org/upload/Pnt.%20Agetta%20-Bahan%20Percakapan%20Gerejawi.pdf
- EKLESIOLOGI HIBRID PENTAKOSTAL: LITURGIS, KARISMATIS …, accessed November 3, 2025, https://indotheologyjournal.org/index.php/home/article/download/265/285/1836
- Gereja Yang Elastis Sebagai Model Bergereja di Era Digital | Manguju | BIA, accessed November 3, 2025, https://jurnalbia.com/index.php/bia/article/view/355
- (PDF) PEREMPUAN DALAM TEOLOGI: PERSPEKTIF BARU UNTUK PEMIMPIN GEREJA, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/389401960_PEREMPUAN_DALAM_TEOLOGI_PERSPEKTIF_BARU_UNTUK_PEMIMPIN_GEREJA
- (PDF) Theological Issues of Sexuality and Christian Marriage – ResearchGate, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/396188112_Theological_Issues_of_Sexuality_and_Christian_Marriage
- Pengantar Teologi Ekologi – Pdt. Prof. Dr. (h.c) Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., accessed November 3, 2025, https://books.google.com/books/about/Pengantar_Teologi_Ekologi.html?id=7o5LEAAAQBAJ
- The document was created from a file “D:\OneDrive\Reformed …, accessed November 3, 2025, https://societasdei.rcrs.org/index.php/SD/article/download/531/216
- Church Governance: A Systematic Literature Review | JURNAL ILMIAH GEMA PERENCANA, accessed November 3, 2025, https://gemaperencana.id/index.php/JIGP/article/view/260
- Manajemen Kinerja Sumber Daya Manusia Gereja dalam Meningkatkan Efektivitas Pelayanan – COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, accessed November 3, 2025, https://comserva.publikasiindonesia.id/index.php/comserva/article/download/2799/2273/16806
- Luther’s Battle for Sola Scriptura – Southern Equip, accessed November 3, 2025, https://equip.sbts.edu/article/luthers-battle-for-sola-scriptura/
- Luther’s theology, accessed November 3, 2025, https://www.worms.de/en/web/luther/Lutherschriften/Luthers_Theologie.php
- Konteks yang Mempengaruhi Eklesiologi Calvin, accessed November 3, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5319/2/ART_Agustinus%20ML%20Batlajery_konteks%20yang%20mempengaruhi%20eklesiologi_fulltext.pdf
- The governance structure of the Presbyterian Church U.S.A. – Dalton and Tomich, accessed November 3, 2025, https://daltontomich.com/the-governance-structure-of-the-presbyterian-church-u-s-a/
- Sejarah Gereja: Ortodoksi & Pietisme | PDF | Ilmu Sosial – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/doc/76071924/Sejarah-Gereja-an-Dan-Pietisme
- THE MISSION OF THE CHURCH IN THE THEOLOGY OF THE SOCIAL GOSPEL, accessed November 3, 2025, https://theologicalstudies.net/wp-content/uploads/2022/08/49.3.5.pdf
- The Social Gospel Movement and Adventism from Late Ninteenth to Early Twentieth Century in the United States, accessed November 3, 2025, https://digitalcommons.andrews.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1157&context=sss
- Towards an Evangelical Ecclesiology (Part One) – Church Society, accessed November 3, 2025, https://www.churchsociety.org/wp-content/uploads/2021/05/Cman_105_1_Tinker.pdf
- Dispensationalism: A Basis for Ecclesiastical Separation | Maranatha Baptist Seminary, accessed November 3, 2025, https://www.mbu.edu/seminary/dispensationalism-a-basis-for-ecclesiastical-separation/
- Ernest Pickering on the Pitfalls of Separatists | SHARPER IRON, accessed November 3, 2025, https://sharperiron.org/article/ernest-pickering-pitfalls-of-separatists?page=1
- Unity and Purity In The Church – Proclaim & Defend, accessed November 3, 2025, https://www.proclaimanddefend.org/2018/11/28/unity-and-purity-in-the-church/
- Gereja Pentakosta | PDF – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/document/506374266/380784767-GEREJA-PENTAKOSTA
- Persekutuan Gereja-Gereja Pentakosta Indonesia – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, accessed November 3, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-Gereja_Pentakosta_Indonesia
- World Christianity and Mission 2020: Ongoing Shift to the Global South – ResearchGate, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/336590325_World_Christianity_and_Mission_2020_Ongoing_Shift_to_the_Global_South
- TRINITY EMERGENT-ECCLESIOLOGY : SEBUAH TAWARAN EKLESIOLOGI KONTEKSTUAL ERA PASCAPANDEMI COVID-19 | Manna Rafflesia, accessed November 3, 2025, https://journals.sttab.ac.id/index.php/man_raf/article/view/331
- Budskap 2008 – Fjellhaug Internasjonale Høgskole, accessed November 3, 2025, https://fih.fjellhaug.no/files/uploads/Budskap-2008.pdf
- trinity emergent-ecclesiology : sebuah tawaran eklesiologi kontekstual era pascapandemi covid-19 – ResearchGate, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/375007027_TRINITY_EMERGENT-ECCLESIOLOGY_SEBUAH_TAWARAN_EKLESIOLOGI_KONTEKSTUAL_ERA_PASCAPANDEMI_COVID-19
- (PDF) Gereja Dan Pengaruh Teknologi Informasi “Digital Ecclesiology” – ResearchGate, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/333106749_Gereja_dan_Pengaruh_Teknologi_Informasi_Digital_Ecclesiology
- Best Church Leadership Structure Models to Adopt Today – Breeze ChMS, accessed November 3, 2025, https://www.breezechms.com/blog/church-leadership-structure
- Anglican doctrine – Wikipedia, accessed November 3, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Anglican_doctrine
- Episcopal polity – Wikipedia, accessed November 3, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Episcopal_polity
- “Three Streams” theory of worship : r/Anglicanism – Reddit, accessed November 3, 2025, https://www.reddit.com/r/Anglicanism/comments/6aw1i3/three_streams_theory_of_worship/
- The Anglican Tradition Three Streams, One River, accessed November 3, 2025, https://anglicanchurch.net/wp-content/uploads/2021/02/Anglican-Tradition_Three-Streams.pdf
- ‘Three streams’ Anglicanism? – The Living Church, accessed November 3, 2025, https://livingchurch.org/covenant/three-streams-anglicanism-2/
- Presbyterian Church (USA) – Wikipedia, accessed November 3, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Presbyterian_Church_(USA)
- Presbyterian Church (USA) | Research Starters – EBSCO, accessed November 3, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/religion-and-philosophy/presbyterian-church-usa
- Effective Church Structures: Leadership Models for Growth – Vanco, accessed November 3, 2025, https://www.vancopayments.com/egiving/blog/church-leadership-structure-models
- Pengaruh Pengorganisasian Pucuk Pimpinan Gereja Terhadap Episkopal Sinodal Gereja HKI | In Theos : Jurnal Pendidikan dan Theologi – Actual Insight Journals, accessed November 3, 2025, https://journal.actual-insight.com/index.php/intheos/article/view/201
- Ephorus Adalah Gembala dan Pemimpin – HarianSIB.com, accessed November 3, 2025, https://www.hariansib.com/Headlines/131864/ephorus-adalah-gembala-dan-pemimpin/
- Sinode Hatopan – Huria Kristen Batak Protestan, accessed November 3, 2025, https://hkbp.or.id/sinode-pusat/
- BPMS – Gereja Masehi Injili di Minahasa, accessed November 3, 2025, https://gmim.or.id/bpms/
- Tata Gereja GMIM 2021 | PDF – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/document/652951175/Tata-Gereja-GMIM-2021
- Kewibawaan Pelayan Khusus Penatua Dan Syamas Atas Jabatan Gerejawi Di GMIM “Kalvari” Talaitad Wilayah Tareran Dua – Journal Fakultas Teologi Ukit, accessed November 3, 2025, https://ejournal.teologi-ukit.ac.id/index.php/educatio-christi/article/download/30/25/
- Materi Katekisasi Pelayan Khusus – Gereja Masehi Injili di Minahasa, accessed November 3, 2025, https://gmim.or.id/materi-katekisasi-pelayan-khusus-2/
- Tata Gereja adalah bagian dari pemberitaan Injil yang benar (selain …, accessed November 3, 2025, https://sinodegkim.com/wp-content/uploads/2023/06/Tata-Gereja-GKIm-2022_Final_compressed.pdf
- Tata Gereja Gki Pedoman Pelaksanaan | PDF – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/document/642947878/TATA-GEREJA-GKI-PEDOMAN-PELAKSANAAN
- Pentakosta). GPdI adalah sebuah gerakan di kalangan Protestanisme. Seperti Gereja-gereja pada Latar Belakang Gereja Pantekosta d – Neliti, accessed November 3, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/61138-ID-desain-kantor-majelis-daerah-gpdi-di-man.pdf
- Gereja Pantekosta di Indonesia – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, accessed November 3, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Pantekosta_di_Indonesia
- Strategi Efektif Dalam Manajemen Gereja Untuk Membangun Penatalayanan Yang Berdaya Dan Berdampak Bagi Pemuda Kristen, accessed November 3, 2025, https://ejurnal.stpdianmandala.ac.id/index.php/magistra/article/download/130/181/709
- (PDF) Manajemen Dalam Pengambilan Keputusan Di Gereja – ResearchGate, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/365046721_Manajemen_Dalam_Pengambilan_Keputusan_Di_Gereja
- The Impact of Strategic Planning Practices on Quality Improvement in Christian Higher Education Institutions – ResearchGate, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/383761163_The_Impact_of_Strategic_Planning_Practices_on_Quality_Improvement_in_Christian_Higher_Education_Institutions
- Implementation Of Human Resource Management In The Church To Improve The Quality Of Ministry – EUDL, accessed November 3, 2025, https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.26-11-2022.2339545
- Organisasi Lainya Sinode GMIM | Gereja Masehi Injili di Minahasa, accessed November 3, 2025, https://gmim.or.id/organisasi-lainya-sinode-gmim/
- Gereja Dan Pengaruh Teknologi Informasi “Digital Ecclesiology” – Neliti, accessed November 3, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/270033-gereja-dan-pengaruh-teknologi-informasi-26e0cffd.pdf
- Pandangan Kristen Terhadap LGBT | PDF | Ilmu Sosial | Sains & Matematika – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/document/508561142/RI-PAK-KEL-3-PSB-C-2019-1
- PEREMPUAN DALAM TEOLOGI: PERSPEKTIF BARU UNTUK PEMIMPIN GEREJA Jhonnedy Kolang Nauli Simatupang jhonnedysttwmi@gmail.com, accessed November 3, 2025, https://sttberea.ac.id/e-journal/index.php/logia/article/download/234/pdf
- Teologi Feminisme dan Pengaruhnya terhadap Pemahaman Iman Kristen dalam Kesetaraan Gender – Jurnal Salvation, accessed November 3, 2025, https://jurnal.sttbkpalu.ac.id/index.php/salvation/article/download/56/51/169
- Tugas Makalah Teologi Sistematika 1 | PDF – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/document/741350181/Tugas-makalah-Teologi-sistematika-1
- Gereja Katolik adalah musuh orang LGBTQ+ dan kita tak patut berpura-pura sebaliknya, accessed November 3, 2025, https://www.reddit.com/r/Christianity/comments/xfn20v/the_catholic_church_is_the_enemy_of_lgbtq_people/?tl=ms
- Eco-Theology (Teologi Lingkungan Hidup) | PDF – Scribd, accessed November 3, 2025, https://id.scribd.com/presentation/449753483/ECO-THEOLOGY-TEOLOGI-LINGKUNGAN-HIDUP
- Kebebasan Beragama Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia, accessed November 3, 2025, https://journal.appihi.or.id/index.php/Aliansi/article/download/229/285/1179
INDONESIA Undang-Undang Dasar memberikan kebebasan dalam beragama. Pemerintah secara resmi mengakui enam agama, dan beberapa lar – State.gov, accessed November 3, 2025, https://2009-2017.state.gov/documents/organization/134449.pdf
