Analisis Penatalayanan (Stewardship) Protestan dan Benang Merahnya menuju Good Governance dan ESG

BAGIAN 1: EVOLUSI “GOOD STEWARDSHIP” — DARI REFORMASI HINGGA MANAJEMEN MODERN

Konsep “Penatalayanan yang Baik” (Good Stewardship) adalah salah satu pilar etika Kristen yang paling dinamis. Dalam konteks Protestantisme, konsep ini mengalami revolusi fundamental yang memindahkannya dari ruang biara yang sunyi ke pasar yang riuh, dari ketaatan monastik menjadi etika kerja universal. Evolusi selama 500 tahun ini tidak hanya membentuk karakter individu, tetapi juga meletakkan fondasi bagi teori manajemen modern, kepemimpinan organisasi, dan strategi sumber daya manusia. Bagian ini akan melacak transformasi stewardship, dari akar teologisnya pada abad ke-16 hingga aplikasinya yang canggih dalam manajemen abad ke-21.

1.1. Revolusi Panggilan: Akar Teologis Stewardship di Era Reformasi

Titik awal dari penatalayanan Protestan adalah sebuah revolusi teologis yang mendefinisikan ulang hubungan manusia dengan Tuhan dan, akibatnya, hubungannya dengan pekerjaan. Para Reformator, Martin Luther dan John Calvin, secara radikal mengubah pemahaman tentang “panggilan” dan “akuntabilitas”, membebaskan konsep stewardship dari eksklusivitas keagamaan dan menjadikannya prinsip universal bagi seluruh kehidupan.

Martin Luther dan Demokratisasi “Vocation” (Panggilan)

Bagi Martin Luther, fondasi dari segalanya adalah doktrin justifikasi atau pembenaran hanya oleh iman (Sola Fide).1 Wawasan teologis ini, yang diperolehnya setelah perjuangan spiritual yang panjang, menyatakan bahwa keselamatan adalah anugerah cuma-cuma dari Tuhan melalui Kristus, yang diterima melalui iman, bukan melalui “pekerjaan baik” (meritorious works).1 Sebelum Reformasi, “pekerjaan baik” ini sering dikaitkan dengan praktik-praktik keagamaan khusus, seperti kehidupan monastik (menjadi biarawan atau biarawati), yang dianggap sebagai “panggilan” (vocation) yang lebih tinggi atau lebih suci daripada pekerjaan duniawi.2

Luther meruntuhkan pemisahan antara yang “sakral” dan yang “sekuler” ini.2 Jika keselamatan sudah dijamin oleh iman, maka tujuan pekerjaan sehari-hari bukanlah lagi untuk memperoleh keselamatan atau “menenangkan murka Tuhan”.1 Sebaliknya, pekerjaan menjadi ekspresi dari keselamatan yang telah diterima. Luther merebut kembali kata “panggilan” (Beruf dalam bahasa Jerman) dan menerapkannya pada setiap pekerjaan yang sah.3

Dalam pandangan Luther, pekerjaan seorang tukang sepatu, seorang petani, seorang pembuat roti, atau seorang ibu rumah tangga kini memiliki martabat spiritual yang setara dengan pekerjaan seorang pendeta.3 Semua adalah “panggilan” ilahi. Tujuan dari vocation ini pun bergeser: bukan lagi untuk menyenangkan Tuhan (yang sudah disenangkan melalui iman dalam Kristus), melainkan untuk “melayani dan memberi manfaat bagi sesama” (neighbor).3

Luther memperkenalkan konsep mendalam bahwa pekerjaan kita adalah “topeng Allah” (Masks of God).3 Melalui pekerjaan seorang petani, Tuhan memberi kita roti. Melalui pekerjaan seorang dokter, Tuhan merawat yang sakit. Stewardship ala Luther, oleh karena itu, adalah penatalayanan atas panggilan: sebuah tanggung jawab untuk melayani komunitas melalui profesi apa pun yang Tuhan tempatkan bagi kita, dengan kualitas dan integritas.2 Ini adalah demokratisasi stewardship—setiap orang percaya kini adalah seorang penatalayan dalam kehidupan sehari-harinya.

John Calvin dan Kedaulatan Mutlak Allah

Jika tema sentral Luther adalah vocation yang dibebaskan oleh Sola Fide, tema sentral John Calvin adalah Kedaulatan Mutlak Allah (Sovereignty of God).5 Bagi Calvin, tidak ada satu inci pun dari alam semesta yang tidak berada di bawah kedaulatan Tuhan.5 Jika Tuhan berdaulat atas segala sesuatu—bukan hanya gereja, tetapi juga pasar, pemerintahan, sains, dan seni—maka orang Kristen dipanggil untuk terlibat dalam setiap aspek tersebut.

Pandangan ini melahirkan dua konsep stewardship yang kuat:

  1. Mandat Budaya (Cultural Mandate): Berakar pada kisah Penciptaan (Kejadian 1:28 dan 2:15), Calvinisme menekankan bahwa manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah (Imago Dei), diberi tanggung jawab ilahi untuk “mengusahakan dan memelihara” (to till and keep) ciptaan.5 Ini bukan mandat yang pasif. Ini adalah panggilan proaktif untuk merawat, mengembangkan, membentuk, dan memperluas tatanan ciptaan, menggunakan talenta dan sumber daya yang telah Tuhan berikan.7 Stewardship di sini adalah manajemen sumber daya proaktif atas nama Sang Pemilik, yaitu Tuhan.
  2. Coram Deo (Hidup di Hadapan Allah): Calvin menekankan bahwa seluruh kehidupan harus dijalani Coram Deo—”di hadapan wajah Allah”.5 Tidak ada lagi pemisahan antara kehidupan publik dan privat, antara hari Minggu dan hari Senin. Setiap tindakan, setiap transaksi bisnis, setiap keputusan politik, dilakukan di bawah pengawasan langsung dari Tuhan yang berdaulat.

Kombinasi dari Kedaulatan Allah dan Coram Deo menciptakan etos akuntabilitas individu yang radikal.6 Seorang steward (penatalayan) Calvinis secara teologis bertanggung jawab langsung kepada Tuhan atas segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya—waktu, talenta, harta, dan pengaruh.

Revolusi Reformasi, yang didorong oleh Luther dan Calvin, dengan demikian tidak menciptakan stewardship, tetapi membebaskan dan mendemokratisasi konsep tersebut. Stewardship bergeser dari tindakan monastik (untuk mencari keselamatan) menjadi tindakan duniawi (sebagai ekspresi dari keselamatan). Kombinasi antara vocation Luther (yang memberi martabat pada semua pekerjaan) dan Coram Deo Calvin (yang menuntut akuntabilitas dalam semua pekerjaan) menciptakan fondasi psikologis dan teologis bagi profesionalisme modern. Etika profesional—melakukan pekerjaan dengan baik demi pekerjaan itu sendiri dan demi klien (sesama)—pada intinya adalah sekularisasi dari konsep “melayani sesama melalui panggilan di hadapan Allah”.

1.2. Ekspansi Mandat: Dari Kesalehan Individu ke Keadilan Sosial

Seiring berjalannya waktu, fokus stewardship Protestan mulai berekspansi. Ia bergerak melampaui etika kerja individu dan mulai mencakup tanggung jawab yang lebih luas terhadap masyarakat dan struktur sosial.

Pietisme dan Etika Sosial John Wesley

Gerakan Pietisme muncul pada abad ke-17 dan ke-18 sebagai reaksi terhadap apa yang dianggap sebagai “ortodoksi mati” dalam gereja-gereja Protestan negara.8 Pietisme menekankan pertobatan pribadi, pengalaman iman yang otentik, dan “hidup kudus” sebagai buah dari iman.9

John Wesley, pendiri Metodisme, adalah produk dari tradisi ini. Namun, ia mengambil kesalehan personal Pietisme dan mengubahnya menjadi etika sosial yang terstruktur dan kuat.10 Bagi Wesley, stewardship adalah konsep yang mencakup seluruh kehidupan, yang ia pandang sebagai anugerah (grace) dari Tuhan.10 Tuhan adalah pemilik segalanya, dan manusia adalah steward (penatalayan) yang dipercaya untuk mengelola sumber daya tersebut.12

Dalam kotbahnya yang terkenal, “The Use of Money” (Penggunaan Uang), Wesley merumuskan tiga aturan sederhana namun radikal:

  1. Gain all you can (Dapatkan semua yang Anda bisa)—melalui kerja keras, jujur, dan tidak merugikan sesama.
  2. Save all you can (Simpan semua yang Anda bisa)—dengan hidup sederhana dan menghindari kemewahan (asceticism).
  3. Give all you can (Berikan semua yang Anda bisa)—karena kekayaan itu bukan milik kita, melainkan milik Tuhan untuk didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan.

Ini bukanlah etos akumulasi-untuk-kemewahan. Ini adalah etos akumulasi-untuk-redistribusi. Wesley secara eksplisit menerapkan stewardship finansial dan sosial ini untuk menentang struktur yang tidak adil pada masanya. Ia adalah salah satu penentang paling vokal terhadap perbudakan (ia menyebutnya “kejahatan terburuk”), menentang perdagangan alkohol yang eksploitatif, dan mengkritik praktik pinjaman yang menindas kaum miskin.10

Dengan demikian, Wesley memperluas stewardship dari sekadar etos kerja (Luther/Calvin) menjadi etos finansial dan sosial. Penatalayanan kini bukan hanya soal bagaimana Anda bekerja, tetapi juga soal apa yang Anda lakukan dengan hasil pekerjaan Anda dan sistem apa yang Anda dukung atau tentang.

The Social Gospel (Injil Sosial) dan Keadilan Sistemik

Langkah evolusi logis berikutnya terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Amerika Serikat, melalui gerakan The Social Gospel (Injil Sosial). Dipelopori oleh teolog Protestan seperti Washington Gladden dan Walter Rauschenbusch 14, gerakan ini muncul sebagai respons langsung terhadap realitas brutal dari industrialisasi yang tidak terkendali: kemiskinan ekstrem di perkotaan, kondisi kerja yang berbahaya, tenaga kerja anak, ketegangan rasial, dan lingkungan kumuh.14

Rauschenbusch berargumen bahwa pesan Kristen telah terlalu ter”individualisasi”. Ia mengkritik kapitalisme yang “berjaya” (triumphant capitalism) karena menciptakan sistem dan struktur yang secara inheren tidak adil dan tidak manusiawi.16 Baginya, Kerajaan Allah—yang didoakan dalam Doa Bapa Kami (“Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga” 14)—bukanlah sekadar realitas akhirat, tetapi sebuah proyek sosial yang harus diwujudkan di bumi.

Oleh karena itu, stewardship Kristen harus beralih dari sekadar amal individu (memberi uang kepada pengemis) menjadi reformasi struktur sosial (menghapus sistem yang menciptakan pengemis).16 Social Gospel berfokus pada “masalah sosial dalam skala besar” 17 dan berusaha menerapkan etika kasih Yesus pada sistem ekonomi dan politik. Gerakan ini memiliki pengaruh besar pada berbagai reformasi sosial, termasuk gerakan progresif dan, kemudian, menjadi salah satu fondasi teologis bagi gerakan Hak-Hak Sipil yang dipimpin oleh Pdt. Martin Luther King Jr..17

Pergeseran ini sangat signifikan. Luther membebaskan pekerja. Wesley menantang pemilik modal. Rauschenbusch menantang sistem itu sendiri. Ini adalah eskalasi logis dari penerapan stewardship ke lingkaran pengaruh yang semakin luas: dari stewardship atas apa yang kita miliki (panggilan, uang) menjadi stewardship atas sistem tempat kita hidup.

Gerakan Social Gospel secara efektif adalah cetak biru teologis untuk pilar “S” (Sosial) dalam kerangka Environmental, Social, and Governance (ESG) modern. Daftar keprihatinan Rauschenbusch—ketimpangan ekonomi, kondisi kerja, rasisme, lingkungan yang tidak bersih 14—secara praktis identik dengan metrik yang digunakan oleh investor ESG saat ini untuk mengevaluasi kinerja sosial perusahaan.

1.3. Stewardship sebagai Teori Manajemen dan Kepemimpinan

Perspektif Anda sebagai pakar dalam Manajemen Strategis, Organisasi, dan SDM sangat penting di sini, karena evolusi teologis stewardship ini tidak berhenti di mimbar gereja; ia masuk ke dalam ruang dewan dan literatur sekolah bisnis, dan menjadi fondasi bagi teori manajemen modern.

Antitesis dari “Agency Theory”: Lahirnya “Stewardship Theory”

Selama beberapa dekade, pemikiran manajemen—khususnya di bidang keuangan dan tata kelola perusahaan—didominasi oleh Agency Theory (Teori Agensi). Teori ini memiliki pandangan yang agak sinis tentang sifat manusia, yang berakar pada model homo economicus. Ia mengasumsikan bahwa manajer (agen) secara inheren mementingkan diri sendiri (self-interested) dan akan bertindak untuk memaksimalkan keuntungan pribadi mereka, seringkali dengan mengorbankan kepentingan pemilik (prinsipal). Akibatnya, solusi tata kelola di bawah Agency Theory berfokus pada kontrol: pengawasan ketat, struktur insentif finansial, dan mekanisme hukuman.

Namun, pada akhir abad ke-20, sebuah teori alternatif muncul: Stewardship Theory (Teori Penatalayanan atau Teori Pengelolaan). Teori ini, yang berakar kuat pada konsep teologis dan sosiologis tentang steward (pelayan/penatalayan) 18, mengajukan asumsi yang berlawanan. Ia mengasumsikan bahwa manajer (steward) pada dasarnya termotivasi secara intrinsik untuk bertindak demi kepentingan terbaik organisasi dan pemangku kepentingan (kebaikan bersama).18

Dalam Teori Stewardship, manajer tidak melihat diri mereka sebagai “agen” yang oportunistik, tetapi sebagai “penatalayan” yang dipercaya untuk mengelola sumber daya organisasi. Motivasi mereka bukanlah semata-mata finansial, tetapi juga non-finansial: pencapaian, aktualisasi diri, dan pemenuhan tanggung jawab.

Akar teologis dari model ini sangat jelas. Dalam paradigma Alkitabiah, seorang pemimpin bukanlah “pemilik” (owner) melainkan “pengelola” (steward) yang telah dipercayakan aset oleh Sang Pemilik (Tuhan).19 Tuntutan utama dan satu-satunya bagi seorang steward bukanlah “keberhasilan” eksternal, melainkan “kesetiaan” atau “dapat dipercaya” (trustworthiness).19 Protestantisme, melalui doktrin vocation-nya, menyediakan model psikologis di mana seseorang dapat dipercaya karena motivasi utamanya adalah calling (panggilan), bukan kompensasi.

Oleh karena itu, solusi tata kelola di bawah Stewardship Theory bukanlah kontrol, melainkan kepercayaan dan pemberdayaan (trust and empowerment).18

Tabel 1: Perbandingan Paradigma Manajemen: Teori Agensi vs. Teori Stewardship

  

Dimensi

Teori Agensi (Agency Theory)

Teori Stewardship (Stewardship Theory)

Asumsi Sifat Manusia

Homo Economicus: Mementingkan diri sendiri, oportunistik.

Homo Servi: Mementingkan organisasi, kolektivis, dapat dipercaya.

Motivasi Manajer

Ekstrinsik: Gaji, bonus, keamanan finansial.

Intrinsik: Pencapaian, pertumbuhan, pelayanan (kebaikan bersama).18

Model Psikologis

Manusia Ekonomi Rasional.

Manusia yang Mengaktualisasikan Diri & Melayani (berbasis calling).

Fokus Tata Kelola

Kontrol & Pengawasan (Monitoring).

Kepercayaan & Pemberdayaan (Trust & Empowerment).18

Akar Konseptual

Ekonomi Neoklasik, Teori Keuangan.

Teologi Penatalayanan 19, Psikologi Organisasi, Sosiologi.

“Vocation” sebagai Kerangka Kerja Manajemen Talenta dan SDM

Implikasi dari pergeseran paradigma ini sangat besar bagi Manajemen Sumber Daya Manusia (HRM) dan Manajemen Strategis. Etika Kerja Protestan (PWE)—yang mencakup kerja keras, kejujuran, profesionalisme, dan kesadaran akan pekerjaan sebagai “panggilan” (calling) 21—adalah bahan bakar yang menggerakkan model Stewardship Theory.

Sebuah studi kasus sosiologis yang meneliti kinerja SDM di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang memberikan bukti empiris modern.21 Studi tersebut menemukan bahwa ketika dosen dan staf memaknai pekerjaan mereka sebagai calling—yang didefinisikan sebagai “wujud syukur atas anugerah Tuhan” serta “bentuk ibadah dan pelayanan”—hal itu menjadi “motivasi inti” mereka. Hasilnya bukanlah kinerja yang biasa-biasa saja, melainkan “dedikasi tinggi,” “komitmen,” “peningkatan kualitas institusi,” dan “efisiensi kerja”.21 Para staf ini termotivasi oleh “keinginan untuk berkontribusi kepada masyarakat” dan melakukan tugas “dengan sebaik-baiknya,” melampaui sekadar kewajiban ekonomi.21

Ini adalah wawasan yang sangat penting bagi setiap praktisi SDM. Doktrin vocation (panggilan) yang berusia 500 tahun, pada dasarnya, adalah kerangka kerja manajemen talenta dan keterlibatan karyawan (employee engagement) yang orisinal.

Sebuah studi tentang praktik HRM di gereja-gereja Protestan kontemporer mengidentifikasi empat prinsip teologis yang membedakan strategi SDM mereka dari organisasi nirlaba sekuler lainnya 23:

  1. Kepemimpinan Pelayan (Servant Leadership): Pemimpin ada untuk melayani, bukan dilayani. Ini membentuk postur kepemimpinan.
  2. Tubuh Kristus (Body of Christ): Ini adalah kerangka kerja manajemen talenta. Setiap orang memiliki karunia unik (1 Korintus 12), dan peran HRM adalah membantu individu menemukan peran mereka yang tepat dalam tubuh organisasi.23
  3. Memperlengkapi Orang Kudus (Equipping the Saints): Ini adalah mandat teologis di balik semua program pelatihan dan pengembangan (training and development).23
  4. Stewardship: Ini adalah prinsip akuntabilitas atas semua sumber daya yang dipercayakan, termasuk waktu, anggaran, dan talenta manusia.23

Dalam konteks manajemen modern, organisasi gereja tidak anti-strategi; mereka justru menggunakan perencanaan strategis untuk menilai kebutuhan komunitas dan memastikan program mereka tetap relevan dan berdampak.24

Pada akhirnya, stewardship dalam konteks manajemen modern mengubah peran HR. Ia bergeser dari sekadar “mengelola sumber daya manusia” (sebagai aset yang dieksploitasi) menjadi “mengelola panggilan manusia” (human callings) (sebagai steward yang diberdayakan). Dalam “perang memperebutkan talenta” (war for talent) saat ini, organisasi yang beroperasi di bawah Stewardship Theory—menciptakan budaya kepercayaan, pemberdayaan, dan makna—akan selalu memiliki keunggulan kompetitif jangka panjang dibandingkan mereka yang terjebak dalam paradigma Agency Theory yang transaksional dan berbasis kontrol.

BAGIAN 2: BENANG MERAH PROTESTANTISME, GOOD GOVERNANCE, DAN ESG

 

Setelah menetapkan evolusi stewardship Protestan dari etos kerja individu menjadi kerangka kerja manajemen organisasi, kita sekarang dapat menelusuri “benang merah”—hubungan kausal dan tematik—antara teologi ini dengan konsep-konsep modern Good Governance (Tata Kelola yang Baik) dan Environmental, Social, and Governance (ESG).

Argumen utamanya adalah: Good Governance dan ESG bukanlah penemuan sekuler yang sepenuhnya baru. Sebaliknya, keduanya adalah sekularisasi, evolusi, dan penerapan modern dari DNA etis yang ditanamkan oleh teologi stewardship Protestan selama berabad-abad.

2.1. Fondasi Tata Kelola: Etika Protestan dan Spirit Akuntabilitas

Good Governance (Tata Kelola yang Baik), sebagaimana didefinisikan oleh berbagai badan dunia, bertumpu pada pilar-pilar utama seperti akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), supremasi hukum (rule of law), partisipasi (participation), dan responsivitas (responsiveness).26 Protestantisme, secara unik, berkontribusi pada penciptaan etos (budaya) dan struktur (hukum) yang membuat prinsip-prinsip ini dapat dioperasionalkan.

“Spirit” Tata Kelola: Etika Weberian

Sosiolog Max Weber, dalam tesisnya yang monumental, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme), memberikan wawasan fundamental.28 Weber mengamati bahwa ada korelasi kuat antara penyebaran Protestantisme (khususnya Calvinisme 30) dan munculnya kapitalisme modern yang rasional.

Inti argumennya adalah psikologis-teologis. Doktrin predestinasi (keyakinan bahwa Tuhan telah menentukan siapa yang selamat) menciptakan kecemasan eksistensial yang mendalam di antara orang-orang percaya. Mereka tidak dapat memperoleh keselamatan melalui perbuatan baik, tetapi mereka mencari tanda-tanda bahwa mereka termasuk orang pilihan (elect). Tanda ini ditemukan dalam “asketisme duniawi” (worldly asceticism) 22:

  • Kerja Keras dan Disiplin: Bekerja tanpa lelah dalam “panggilan” seseorang dilihat sebagai tugas ilahi. Kemalasan adalah dosa.31
  • Penghematan (Frugality): Sukses material dan keuntungan yang diperoleh dari kerja keras bukanlah untuk dinikmati dalam kemewahan (yang dianggap dosa), melainkan harus diinvestasikan kembali secara rasional.22
  • Integritas dan Keandalan: Etos Coram Deo 5 menuntut kejujuran absolut dalam transaksi.

Kombinasi ini—kerja keras, disiplin, hemat, rasionalitas, dan integritas 32—menciptakan tipe individu yang ideal untuk menjalankan tata kelola modern. Mereka adalah birokrat, manajer, dan warga negara yang dapat dipercaya, rasional, dan akuntabel. Ini adalah “spirit” atau etos yang menopang sistem Good Governance.

“Struktur” Tata Kelola: Supremasi Hukum dan Pembatasan Kekuasaan

Protestantisme tidak hanya menciptakan individu yang akuntabel; ia juga menciptakan sistem yang menuntut akuntabilitas. Ini adalah kontribusi ganda yang paradoksal.

Jika etos PWE lahir dari keyakinan akan panggilan ilahi, struktur tata kelola Protestan lahir dari keyakinan akan kebejatan manusia (total depravity atau fallenness).32 Para teolog Reformasi, khususnya Calvinis, memiliki pandangan yang realistis (atau pesimistis) tentang sifat manusia. Mereka percaya bahwa semua manusia—termasuk raja, pendeta, dan pejabat pemerintah—cenderung menyalahgunakan kekuasaan karena kodrat manusia yang telah jatuh.

Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya dengan kekuasaan absolut. Mandat teologis ini secara langsung mengarah pada tuntutan untuk:

  1. Supremasi Hukum (Rule of Law): Hukum Tuhan (yang tercermin dalam hukum kodrat dan hukum sipil) 33 berada di atas kehendak penguasa.
  2. Konstitusi Tertulis: Para reformator Protestan adalah pendukung kuat konstitusi tertulis yang menjabarkan hak-hak dasar rakyat dan membatasi kekuasaan pemerintah.35
  3. Checks and Balances (Pemisahan Kekuasaan): Karena tidak ada individu atau lembaga yang sempurna, kekuasaan harus dibagi dan saling mengawasi.33

Sintesis dari dua kontribusi ini—menciptakan individu yang sangat akuntabel (melalui PWE dan Coram Deo) dan sistem yang sangat skeptis (melalui doktrin fallenness)—adalah mesin penggerak Good Governance. Anda memiliki warga negara yang bertanggung jawab 31 yang secara teologis diwajibkan untuk menuntut akuntabilitas dari para pemimpin mereka, yang beroperasi dalam sistem yang secara struktural dirancang untuk akuntabel.35

Benang merah ini bukanlah sekadar peninggalan sejarah. Ia masih hidup dan sangat relevan dalam praktik tata kelola organisasi gereja saat ini. Studi tentang gereja-gereja Protestan di Indonesia menunjukkan hal ini dengan jelas. Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), misalnya, secara eksplisit menerapkan Stewardship Theory untuk “menghasilkan informasi laporan pertanggungjawaban yang jelas dan berkualitas”.20 Demikian pula, Gereja Batak Karo Protestan (CBKP) dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) secara aktif bergumul dengan penerapan Good Church Governance (GCG) untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas keuangan kepada jemaat.36 Ini adalah bukti konkret bahwa teologi stewardship yang berusia 500 tahun adalah kerangka kerja governance yang digunakan saat ini.

2.2. Studi Kasus Konkret: Kaum Quaker dan Arsitektur “Bisnis yang Bertanggung Jawab”

Untuk memberikan gambaran jurnalistik yang konkret tentang benang merah ini dalam praktik, tidak ada studi kasus yang lebih baik daripada kaum Quaker (Society of Friends) dan dampaknya pada revolusi industri, khususnya melalui keluarga Cadbury. Kaum Quaker adalah sebuah cabang dari Protestantisme radikal yang membawa etika stewardship ke tingkat yang ekstrem.

Konteks: Panggilan yang Dipaksakan ke Dunia Bisnis

Sebagai kelompok agama “pembangkang” (non-conformist) di Inggris abad ke-17 dan ke-18, kaum Quaker dilarang keras untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas utama (Oxford dan Cambridge, yang Anglikan), dilarang memegang jabatan publik di parlemen, dan dilarang menjadi perwira militer (karena pasifisme mereka).38

Pengecualian sosial ini secara efektif memaksa “panggilan” (vocation) mereka ke dalam satu-satunya arena yang tersisa bagi mereka: industri dan bisnis.38 Mereka membawa serta etika stewardship mereka yang radikal, yang didasarkan pada kesetaraan semua manusia di hadapan Tuhan, integritas absolut (Quaker menolak bersumpah karena mereka harus selalu jujur), dan pelayanan komunitas.

Studi Kasus: Cadbury dan Integrasi E-S-G di Bournville

Keluarga Cadbury, pendiri perusahaan cokelat yang terkenal, adalah contoh sempurna dari etika ini dalam praktik.39 Analisis mereka menunjukkan bahwa mereka mempraktikkan kerangka ESG modern, 100 tahun sebelum istilah itu ditemukan.

  • Pilar “S” (Sosial): Misi Produk dan Penatalayanan Karyawan
  • Misi: John Cadbury mendirikan bisnisnya pada tahun 1830-an bukan semata-mata untuk mencari keuntungan. Bisnis itu sendiri adalah sebuah misi sosial. Sebagai seorang Quaker yang aktif dalam gerakan anti-alkoholisme (temperance), ia melihat alkohol sebagai akar dari kemiskinan dan kejahatan sosial.39 Ia menjual cokelat dan kakao sebagai “alternatif yang sehat” untuk alkohol.39 Ini adalah Social Impact (Dampak Sosial) yang tertanam dalam inti produk itu sendiri.
  • Karyawan: Ketika putra-putranya, George dan Richard, mengambil alih, mereka mempraktikkan stewardship atas karyawan mereka. Pada saat pabrik-pabrik lain di era Revolusi Industri dikenal sebagai tempat yang “menindas dan berbahaya” 39, Cadbury bersaudara melakukan hal yang sebaliknya. Mereka menyediakan upah layak, kondisi kerja yang manusiawi, dan fasilitas yang belum pernah ada sebelumnya: ruang ganti berpemanas, dapur bagi karyawan untuk memanaskan makanan, layanan medis dan gigi di tempat, dana pensiun, dan fasilitas olahraga yang luas.39 Mereka adalah perusahaan pertama yang memelopori libur setengah hari pada hari Sabtu.40
  • Pilar “E” (Environmental): Desa Model “Bournville”
  • Motivasi George Cadbury untuk membangun pabrik baru pada dasarnya bersifat environmental (lingkungan). Ia muak dengan kondisi pusat kota Birmingham yang “tidak sehat”, penuh polusi, dan padat.40 Ia memindahkan pabriknya ke “lokasi pedesaan” yang ia beri nama Bournville.39
  • Ia kemudian membangun “desa model” di sekitar pabrik, bukan hanya untuk karyawannya, tetapi untuk campuran kelas pekerja.40 Desainnya adalah stewardship atas lahan: hanya seperempat lahan yang boleh dibangun, sisanya didedikasikan untuk taman, ruang terbuka hijau, dan setiap rumah diwajibkan memiliki taman yang luas.39 Ini adalah “Garden City” (Kota Taman) yang memprioritaskan kesehatan, udara bersih, dan kesejahteraan.
  • Pilar “G” (Governance): Dewan Kerja dan Kepemilikan Yayasan
  • Cadbury bersaudara memelopori bentuk stakeholder governance. Pada tahun 1918, mereka membentuk “Dewan Kerja” (Works Councils)—satu untuk pria dan satu untuk wanita—yang anggotanya dipilih secara demokratis oleh karyawan.40 Dewan ini memiliki wewenang untuk membahas segala hal mulai dari kondisi kerja, kesehatan, keselamatan, hingga pendidikan dan pelatihan.40 Ini adalah bentuk awal dari keterlibatan karyawan dan tata kelola partisipatif.
  • Langkah tata kelola yang paling brilian adalah pada tahun 1900, ketika George Cadbury menyerahkan kepemilikan seluruh desa Bournville (termasuk tanah dan rumah) ke sebuah yayasan independen, Bournville Village Trust.40 Ini adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa misi sosial desa tersebut terpisah dan terlindungi dari kepentingan laba perusahaan Cadbury, untuk selamanya.

Kisah Cadbury bukanlah tentang “filantropi” (memberikan uang setelah mendapatkan keuntungan). Ini adalah kisah tentang stewardship yang terintegrasi (bagaimana cara menciptakan keuntungan). Prinsip Quaker mereka yang terdokumentasi, yaitu “mencari kebaikan terlebih dahulu, dengan keuntungan sebagai pertimbangan kedua” 39, adalah antitesis dari Shareholder Primacy (keutamaan pemegang saham) dan merupakan definisi harfiah dari Stakeholder Capitalism (kapitalisme pemangku kepentingan) atau bisnis yang “ESG-native”.

2.3. Sintesis Modern: Menelusuri DNA Protestan dalam Kerangka ESG

Studi kasus Cadbury adalah jembatan sempurna untuk memetakan DNA teologi Protestan secara langsung ke tiga pilar kerangka ESG modern. ESG sering dianggap sebagai kerangka kerja sekuler yang didorong oleh investor, tetapi akarnya jauh lebih dalam.

E = Environmental (Lingkungan)

  • Akar Teologis: Mandat Budaya (Cultural Mandate) dalam teologi Calvinis (Kejadian 1:28, 2:15) untuk “mengusahakan dan memelihara” ciptaan.5
  • Krisis dan Respons: Pada tahun 1967, sejarawan Lynn White Jr. menerbitkan esai provokatif berjudul “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis” (Akar Sejarah Krisis Ekologi Kita).43 Ia berargumen bahwa mandat “dominion” (penaklukan) dalam tradisi Yudeo-Kristen telah memberikan lisensi teologis untuk mengeksploitasi alam tanpa batas, yang menyebabkan krisis lingkungan.44
  • Evolusi Teologis: Tuduhan ini memicu kebangkitan teologi lingkungan Protestan.43 Para teolog terkemuka, baik dari sayap liberal maupun konservatif (seperti Francis Schaeffer, yang menulis Pollution and the Death of Man 44), merespons dengan kuat. Mereka menegaskan kembali bahwa pemahaman Alkitabiah yang benar tentang “dominion” bukanlah penaklukan (domination), melainkan penatalayanan (stewardship). Ini melahirkan gerakan “Creation Care” (Pemeliharaan Ciptaan).45
  • Benang Merah: Gerakan “Creation Care” 48 adalah padanan teologis langsung dari pilar “E” (Environmental) dalam ESG.50 Gerakan ini juga secara krusial menghubungkan degradasi lingkungan dengan keadilan sosial (dikenal sebagai eco-justice), dengan alasan bahwa yang paling menderita akibat polusi dan perubahan iklim adalah kaum miskin dan rentan.45

S = Social (Sosial)

  • Akar Teologis: Vocation Luther sebagai “pelayanan kepada sesama” (neighbor).3
  • Evolusi Teologis: Etika sosial dan finansial John Wesley, yang menuntut keadilan bagi kaum miskin dan menentang perbudakan.10 Ini kemudian diekskalasi oleh Social Gospel Walter Rauschenbusch, yang menyerukan kritik sistemik terhadap praktik perburuhan yang eksploitatif, rasisme, dan kemiskinan struktural.14
  • Benang Merah: Pilar “S” (Sosial) dalam ESG—yang berfokus pada praktik perburuhan yang adil, hak asasi manusia, keragaman, keamanan produk, dan dampak komunitas 51—adalah ekspresi sekuler modern dari mandat stewardship sosial Protestan yang telah berevolusi selama lebih dari 200 tahun.

G = Governance (Tata Kelola)

  • Akar Teologis: Akuntabilitas individu yang radikal di bawah Coram Deo Calvin.6 Etika Kerja Protestan (PWE) Weberian yang menuntut integritas, disiplin, dan rasionalitas dari individu.31
  • Evolusi Teologis: Tuntutan Protestan untuk Rule of Law (Supremasi Hukum), konstitusi tertulis, dan checks and balances untuk membatasi kekuasaan para pemimpin, yang didasarkan pada doktrin teologis tentang sifat manusia yang cenderung korup (fallenness).32
  • Benang Merah: Pilar “G” (Governance) dalam ESG—yang berfokus pada etika kepemimpinan, transparansi, akuntabilitas, struktur dewan, dan hak-hak pemegang saham 51—secara langsung mencerminkan tuntutan ganda Protestan akan integritas di tingkat individu (etos) dan akuntabilitas di tingkat struktural (sistem).

Singkatnya, kerangka kerja ESG bukanlah kerangka kerja sekuler yang asing yang sekarang coba diadopsi oleh pemikir Kristen. Sebaliknya, kerangka kerja ESG itu sendiri adalah produk atau keturunan langsung dari evolusi teologis Protestan. Tiga nilai inti yang sering dikutip yang menghubungkan Faith-Based Investing (Investasi Berbasis Iman) dengan ESG adalah: Stewardship (Lingkungan & Tata Kelola), Justice (Sosial), dan Integrity (Tata Kelola).50 Ini bukanlah nilai-nilai baru; mereka adalah bahasa modern untuk konsep teologis yang dikembangkan oleh Calvin, Wesley, dan Rauschenbusch.

2.4. Dari Teologi ke Portofolio: Gerakan “Socially Responsible Investing” (SRI)

Aplikasi praktis dan final dari etika stewardship ini di dunia modern adalah dalam stewardship of capital (penatalayanan atas modal), yang dikenal sebagai Socially Responsible Investing (SRI). SRI adalah strategi investasi yang berupaya mempertimbangkan hasil finansial sekaligus tujuan etis, sosial, atau lingkungan.53

Sejarah SRI, pada intinya, adalah sejarah etika Protestan dalam praktik 54:

  1. Akar Abad ke-18: Gerakan SRI modern dapat dilacak kembali ke kelompok-kelompok Protestan di Amerika kolonial. Kaum Quaker melarang anggotanya untuk berinvestasi atau mengambil untung dari perdagangan budak dan bisnis yang terkait dengan perang.54 Ini adalah asal mula dari apa yang sekarang kita sebut “layar negatif” (negative screening).
  2. Etika Metodis: Pada saat yang sama, ajaran John Wesley tentang “Do No Harm” (Jangan Merugikan) 13 dan kotbahnya tentang penggunaan uang 12 membuat kaum Metodis menghindari investasi di “industri dosa” (sin stocks) seperti alkohol, tembakau, dan perjudian.13
  3. Evolusi Modern: Gerakan ini dipercepat pada paruh kedua abad ke-20. Protes terhadap Perang Vietnam pada 1960-an dan 1970-an mendorong universitas-universitas untuk melakukan divestasi dari produsen senjata.54 Pada 1980-an, gerakan divestasi global terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Afrika Selatan pada era Apartheid menjadi tekanan ekonomi yang signifikan yang membantu meruntuhkan rezim tersebut.54
  4. Dari “Screening” ke “Advocacy”: Stewardship berkembang lebih jauh. Organisasi antar-agama, banyak yang dipimpin oleh denominasi Protestan, membentuk Interfaith Center for Corporate Responsibility (ICCR).56 Mereka memelopori shareholder advocacy (advokasi pemegang saham). Alih-alih hanya menjual saham (divestasi), mereka menggunakan kepemilikan saham mereka untuk mengajukan resolusi, menekan manajemen, dan menuntut perubahan dari dalam perusahaan terkait isu-isu lingkungan dan sosial.

Jika SRI historis berfokus pada penghindaran (layar negatif), kerangka ESG modern berevolusi menjadi pendekatan proaktif yang mengukur dan memberi skor pada praktik E, S, dan G perusahaan secara positif.54

Studi kasus Cadbury (2.2) dan sejarah SRI (2.4) adalah dua sisi dari mata uang stewardship Protestan yang sama. Etika Quaker yang sama, yang secara proaktif membangun Bournville (praktik ESG positif), juga secara reaktif menghindari industri alkohol (penyaringan SRI negatif).39 Ini menunjukkan bahwa etika stewardship Protestan tidak hanya menciptakan pasokan perusahaan yang bertanggung jawab, tetapi juga permintaan akan investasi yang bertanggung jawab.

Tabel 2: Evolusi Investasi Etis Berbasis Teologi Protestan

   

Era

Gerakan Teologis Kunci

Fokus Stewardship

Praktik Investasi yang Muncul

1700-an

Quakerisme / Metodisme Awal 54

Stewardship Moral (Hindari Dosa)

Negative Screening (Anti-perbudakan, anti-perang, anti-alkohol/tembakau) 13

Awal 1900-an

Social Gospel (Injil Sosial) 14

Stewardship Sosial (Keadilan Sistemik)

Community Investing (Mendanai perumahan & usaha bagi kaum miskin).

1960-70an

Gerakan Hak Sipil / Teologi Pembebasan [17, 54]

Stewardship Politis & Keadilan Rasial

Shareholder Advocacy (Advokasi Pemegang Saham) & Divestasi 56

1980-an – kini

Eco-Theology / Creation Care [44, 45]

Stewardship Holistik (E-S-G)

ESG Integration & Impact Investing (Investasi Berdampak) [52, 53]

BAGIAN 3: ANALISIS DAN IMPLIKASI STRATEGIS

Analisis historis dan teologis ini memiliki implikasi strategis yang mendalam bagi para pemimpin organisasi modern, baik di sektor gerejawi maupun korporat. Laporan ini telah menunjukkan bahwa “Good Stewardship” dalam Protestantisme bukanlah sebuah doktrin yang statis, melainkan sebuah konsep yang dinamis. Ia telah berevolusi dari stewardship atas panggilan individu (Luther/Calvin), menjadi stewardship atas keadilan sosial (Wesley/Rauschenbusch), dan akhirnya menjadi stewardship atas tatanan ciptaan (Eco-Theology/Creation Care).

Benang merah ini mengarah pada tiga implikasi strategis utama untuk tata kelola, strategi ESG, dan manajemen sumber daya manusia.

Implikasi 1: Untuk Tata Kelola (Governance)

Analisis ini menunjukkan bahwa Good Governance yang tangguh membutuhkan lebih dari sekadar aturan dan kepatuhan; ia membutuhkan etos budaya yang mendasarinya. Etika Protestan menyediakan kerangka kerja ganda yang unik untuk ini:

  1. Di tingkat individu, ia menuntut integritas dan akuntabilitas radikal melalui konsep Coram Deo (hidup di hadapan Allah) dan Etika Kerja Protestan (PWE).6
  2. Di tingkat sistem, ia menuntut struktur, transparansi, dan pembatasan kekuasaan melalui Rule of Law (Supremasi Hukum), yang lahir dari kesadaran teologis akan kecenderungan manusia untuk korup (fallenness).35

Implikasi strategisnya adalah bahwa organisasi modern yang hanya berfokus pada aturan (kepatuhan) tanpa membangun budaya (etos) akan selalu rapuh. Tata kelola yang efektif membutuhkan kedua pilar ini: individu yang berintegritas dan termotivasi secara intrinsik, yang beroperasi dalam sistem yang dirancang secara struktural untuk transparansi dan akuntabilitas.

Implikasi 2: Untuk Strategi ESG

Bagi perusahaan dan investor yang bergumul dengan tuduhan “greenwashing” (pura-pura hijau) atau “social washing”, akar teologis stewardship menawarkan jalan menuju keaslian (authenticity).

Kerangka kerja ESG yang didorong murni oleh kepatuhan (compliance) atau manajemen risiko bersifat reaktif dan rapuh. Ia akan selalu tertinggal dari tuntutan regulator dan aktivis. Sebaliknya, strategi ESG yang didorong oleh etika stewardship yang tertanam—sebuah keyakinan inti bahwa bisnis adalah “panggilan” (vocation) yang tujuannya adalah untuk “melayani sesama” (neighbor) dan “memelihara ciptaan” (creation care)—bersifat proaktif dan tangguh.

Etika stewardship menyediakan “MENGAPA” (the WHY) yang melampaui “APA” (the WHAT) dari metrik ESG. “MENGAPA” inilah yang mendorong inovasi sejati (seperti Bournville oleh Cadbury 39) dan membangun ketahanan strategis jangka panjang, karena misi organisasi selaras dengan kebaikan bersama (common good).

Implikasi 3: Untuk Manajemen SDM & Strategi Organisasi

Kontribusi terbesar dan paling relevan dari Protestantisme bagi manajemen modern adalah konsep vocation (panggilan) 21 dan kepemimpinan sebagai stewardship.19

Dalam “perang memperebutkan talenta” saat ini, di mana karyawan (terutama generasi muda) semakin mencari “makna” (meaning) dan “tujuan” (purpose) dalam pekerjaan mereka, model manajemen lama yang berbasis Agency Theory (transaksional, kontrol, ketidakpercayaan) akan gagal total.

Organisasi yang mengadopsi kerangka kerja Stewardship Theory—yang memperlakukan karyawan bukan sebagai “agen” yang egois, melainkan sebagai “steward” yang dipercaya 18—akan menang. Implikasi strategis bagi SDM sangat jelas:

  • Rekrutmen harus berfokus pada keselarasan antara “panggilan” individu dan “misi” organisasi.
  • Manajemen Kinerja harus berfokus pada “kesetiaan” dan “integritas” 19, bukan hanya metrik hasil jangka pendek.
  • Pelatihan & Pengembangan harus dilihat sebagai “memperlengkapi” (equipping) steward untuk memenuhi panggilan mereka dengan lebih baik.23

Studi seperti di IAKN Kupang 21 membuktikan bahwa ketika keselarasan ini tercapai, hasilnya adalah tingkat “dedikasi tinggi,” “kualitas,” dan “efisiensi” yang tidak dapat dibeli dengan kompensasi finansial semata. Inilah keunggulan kompetitif tertinggi yang ditawarkan oleh penerapan teologi stewardship yang berusia 500 tahun dalam manajemen strategis modern.

DAFTAR PUSTAKA

  1. “A Comparison and Evaluation of the Theology of Luther with That of Calvin” | The Martin Luther King, Jr. Research and Education Institute, accessed November 3, 2025, https://kinginstitute.stanford.edu/king-papers/documents/comparison-and-evaluation-theology-luther-calvin
  2. Martin Luther’s Contributions to the Church’s View of Vocation, accessed November 3, 2025, https://tifwe.org/martin-luthers-contributions-to-the-churchs-view-of-vocation/
  3. Martin Luther and the Doctrine of Vocation – Credo Magazine, accessed November 3, 2025, https://credomag.com/article/martin-luther-and-the-doctrine-of-vocation/
  4. Martin Luther on Vocation and Serving Our Neighbors – Religion & Liberty Online, accessed November 3, 2025, https://rlo.acton.org/archives/85881-martin-luther-on-vocation-and-serving-our-neighbors.html
  5. What We Believe – About Calvin | Calvin University, accessed November 3, 2025, https://calvin.edu/about/who-we-are/what-we-believe
  6. Moral Responsibility and Moral Accountability Earl C. Davis Pittsfield, MA April 25, 19091 In the theological system of John Cal – at Clark University, accessed November 3, 2025, https://wordpress.clarku.edu/wp-content/uploads/sites/701/2023/04/09SermonMoralResponsibilityAndMoralAccountability25Apr1909Transcribed.pdf
  7. Stewardship as the Christian’s cultural mandate | Acton Institute, accessed November 3, 2025, https://www.acton.org/pub/commentary/2019/06/05/stewardship-christians-cultural-mandate
  8. Teologia Reformed dan Relevansinya bagi Gereja Masa Kini – SABDA.org, accessed November 3, 2025, https://sabda.org/publikasi/e-reformed/026
  9. Kingdom Calling: Vocational Stewardship | PPTX – Slideshare, accessed November 3, 2025, https://www.slideshare.net/slideshow/kingdom-calling-vocational-stewardship/142265724
  10. John Wesley on giving | ResourceUMC, accessed November 3, 2025, https://www.resourceumc.org/en/content/john-wesley-on-giving
  11. A Wesleyan Perspective on Christian Stewardship, accessed November 3, 2025, https://generousstewards.com/a-wesleyan-perspective-on-christian-stewardship-by-bishop-kenneth-l-carter/
  12. John Wesley’s Sermon on “The Use of Money” – Effective Altruism for Christians, accessed November 3, 2025, https://www.eaforchristians.org/blog/john-wesley-the-use-of-money-12
  13. Rev. John Wesley’s Three Simple Rules: A Message from Wayne, accessed November 3, 2025, https://www.methodistfoundationar.org/news-and-events/rev-john-wesleys-three-simple-rules
  14. Social Gospel – Wikipedia, accessed November 3, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Social_Gospel
  15. Walter Rauschenbusch and the Social Gospel – Denison Digital Commons, accessed November 3, 2025, https://digitalcommons.denison.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1068&context=religion
  16. A Theology for the Social Gospel by Walter Rauschenbusch | Research Starters – EBSCO, accessed November 3, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/literature-and-writing/theology-social-gospel-walter-rauschenbusch
  17. Social Gospel | The Martin Luther King, Jr. Research and Education Institute, accessed November 3, 2025, https://kinginstitute.stanford.edu/social-gospel
  18. Konsep Stewardship dalam Teologi Protestan dan Implikasinya bagi Kepemimpinan Kepala Sekolah Halaman 1 – Kompasiana.com, accessed November 3, 2025, https://www.kompasiana.com/forkammelabrginting9798/672ee5e634777c6ac9265462/konsep-stewardship-dalam-teologi-protestan-dan-implikasinya-bagi-kepemimpinan-kepala-sekolah
  19. Kepemimpinan Yesus: Stewardship – Panggilan Menjadi Pengelola – budi hidajat, accessed November 3, 2025, https://budihidajat.com/2025/10/11/kepemimpinan-yesus-stewardship-panggilan-menjadi-pengelola/
  20. Akuntabilitas Gereja dalam Pandangan Alkitabiah dan Stewardship Theory di GKPB Kasih Karunia Sambangan – Ejournal Undiksha, accessed November 3, 2025, https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJA/article/view/41559/23535
  21. (PDF) Kajian Sosiologis Kinerja Sumber Daya Manusia Pada IAKN …, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/396684137_Kajian_Sosiologis_Kinerja_Sumber_Daya_Manusia_Pada_IAKN_Kupang_Berdasarkan_Etika_Protestan
  22. (PDF) Etika Protestan dan Asketisme dalam Pemikiran Max Weber – ResearchGate, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/363701534_Etika_Protestan_dan_Asketisme_dalam_Pemikiran_Max_Weber
  23. “The Role of Standard Business and Biblical Principles in the …, accessed November 3, 2025, https://digitalcommons.liberty.edu/doctoral/7441/
  24. Can Faith-Based Organizations Listen to God AND Engage in Strategic Planning?, accessed November 3, 2025, https://johnsoncenter.org/blog/can-faith-based-organizations-listen-to-god-and-engage-in-strategic-planning/
  25. Organization change processes in U.S. Protestant churches: a comparative case study analysis – Pepperdine Digital Commons, accessed November 3, 2025, https://digitalcommons.pepperdine.edu/etd/1496/
  26. PENGARUH KOMPETENSI DAN SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL TERHADAP AKUNTABILITAS PENGEOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN KOMITME – Repository | Universitas Hasanuddin, accessed November 3, 2025, https://repository.unhas.ac.id/id/eprint/44306/1/A012231013_tesis_16-10-2024%20bab%201-2.pdf
  27. About good governance | OHCHR, accessed November 3, 2025, https://www.ohchr.org/en/good-governance/about-good-governance
  28. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism – Wikipedia, accessed November 3, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/The_Protestant_Ethic_and_the_Spirit_of_Capitalism
  29. The Protestant Ethic Thesis – EH.net, accessed November 3, 2025, https://eh.net/encyclopedia/the-protestant-ethic-thesis/
  30. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, accessed November 3, 2025, https://gpde.direito.ufmg.br/wp-content/uploads/2019/03/MAX-WEBER.pdf
  31. Max Weber: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism – ReviseSociology, accessed November 3, 2025, https://revisesociology.com/2018/08/17/max-weber-religion-society-change/
  32. The Protestant Revolution in Theology, Law, and Community – VoegelinView, accessed November 3, 2025, https://voegelinview.com/protestant-revolution-theology-law-community/
  33. Law and Theology in the Western Legal Tradition, accessed November 3, 2025, https://www.saet.ac.uk/Christianity/LawandTheologyintheWesternLegalTradition
  34. Protestant Ecclesiastical Law and the Ius Commune, accessed November 3, 2025, https://scholarship.law.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1959&context=scholar
  35. Natural Law and Natural Rights in the Early Protestant Tradition …, accessed November 3, 2025, https://www.cambridge.org/core/books/blessings-of-liberty/natural-law-and-natural-rights-in-the-early-protestant-tradition/41788CDECBC34746F55B6761903940E2
  36. (PDF) Tata Kelola Gereja: Sebuah Tinjauan Sistematis Literatur – ResearchGate, accessed November 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/395375144_Tata_Kelola_Gereja_Sebuah_Tinjauan_Sistematis_Literatur
  37. GEREJA SEBAGAI ORGANISASI NIRLABA: KETIKA NILAI-NILAI AKUNTANSI DAN LOYALITAS, MEMPENGARUHI INTENSI UMAT UNTUK BERDONASI – Open Journal Systems, accessed November 3, 2025, https://ojs.uajy.ac.id/index.php/modus/article/view/9064/3950
  38. The Quakers and the English chocolate industry – Paul Chrystal, accessed November 3, 2025, https://paulchrystal.com/the-quakers-and-the-english-chocolate-industry/
  39. The Cadbury Family: A Sweet Tradition of Giving – Carnegie Medal …, accessed November 3, 2025, https://www.medalofphilanthropy.org/the-cadbury-family-a-sweet-tradition-of-giving/
  40. The Cadburys – Quaker Social Reformers – QuakerInfo.com, accessed November 3, 2025, https://www.quakerinfo.com/quak_cad.shtml
  41. Made for Sharing: George Cadbury, ‘Industrial Betterment’ and Salvation1 – Quaker Studies, accessed November 3, 2025, https://quakerstudies.openlibhums.org/article/15713/galley/31915/download/
  42. Caring for Creation: A Call to Stewardship and Justice, accessed November 3, 2025, https://www.umcjustice.org/latest/caring-for-creation-a-call-to-stewardship-and-justice-47
  43. White Blight and the Legacy of Protestant … – Word and World, accessed November 3, 2025, https://wordandworld.luthersem.edu/wp-content/uploads/pdfs/38-2_1968/White%20Blight%20and%20the%20Legacy%20of%20Protestant%20Ecotheology.pdf
  44. Redemption of man and nature: environmentalism … – UTC Scholar, accessed November 3, 2025, https://scholar.utc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1068&context=honors-theses
  45. Creation Care & Climate Justice – Christian Reformed Church, accessed November 3, 2025, https://www.crcna.org/SocialJustice/creation-care-climate-justice
  46. Creation Care | Episcopal Diocese of Massachusetts, accessed November 3, 2025, https://www.diomass.org/creation-care
  47. CREATION JUSTICE MINISTRIES – Home, accessed November 3, 2025, https://www.creationjustice.org/
  48. Care for creation and climate justice | World Council of Churches, accessed November 3, 2025, https://www.oikoumene.org/what-we-do/care-for-creation-and-climate-justice
  49. Young Evangelicals for Climate Action: Why Creation Care Is Central to Christian Witness, accessed November 3, 2025, https://christiansforsocialaction.org/resource/why-creation-care-is-central-to-christian-witness/
  50. How Does Faith-Based Investing Align with Esg Goals? → Question, accessed November 3, 2025, https://esg.sustainability-directory.com/question/how-does-faith-based-investing-align-with-esg-goals/#:~:text=Stewardship%20%E2%86%92%20The%20responsibility%20to,central%20to%20ESG’s%20governance%20aspect.
  51. Interpreting ESG Goals Through a Christian Worldview, accessed November 3, 2025, https://c12nj.com/blog/interpreting-esg-goals-through-a-christian-worldview/
  52. How Does Faith-Based Investing Align with Esg Goals? → Question, accessed November 3, 2025, https://esg.sustainability-directory.com/question/how-does-faith-based-investing-align-with-esg-goals/
  53. Socially responsible investing – Wikipedia, accessed November 3, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Socially_responsible_investing
  54. Guide to Socially Responsible Investing: Principles and Benefits, accessed November 3, 2025, https://www.investopedia.com/terms/s/sri.asp
  55. What Is Socially Responsible Investing (SRI) and How to Get Started – NerdWallet, accessed November 3, 2025, https://www.nerdwallet.com/article/investing/socially-responsible-investing

Socially Responsible Investing (SRI) | UUA.org, accessed November 3, 2025, https://www.uua.org/finance/investment/sri