Menguji, Memegang, dan Memperbarui: Arah Teologis dan Strategis GPI di Era Disrupsi

 

Pendahuluan: Panggilan untuk Menguji dan Memperbarui di Era Disrupsi

Sidang Majelis Sinode Am (SMSA) Gereja Protestan di Indonesia (GPI) tahun 2025 berlangsung di tengah sebuah zaman yang tidak only berubah, tetapi bergejolak. Era disrupsi fundamental yang sedang kita hadapi menantang setiap aspek kehidupan dan pelayanan gereja, mulai dari cara kita bersekutu, bersaksi, hingga melayani.1 Oleh karena itu, persidangan kali ini bukanlah sekadar pertemuan rutin dalam kalender gerejawi, melainkan sebuah momen penentuan (kairos) bagi GPI untuk secara sadar, saksama, dan berani memeriksa kembali panggilan serta arah pelayanannya di hadapan Tuhan dan di tengah dunia.

Gereja dihadapkan pada sebuah tantangan ganda yang mendesak. Secara eksternal, kita harus merespons gelombang disrupsi ekonomi dan teknologi yang berdampak langsung pada kehidupan jemaat, menciptakan peluang sekaligus kerentanan baru.1 Pergeseran dari ekonomi konvensional ke ekonomi digital, maraknya pinjaman daring, hingga penyebaran disinformasi di media sosial adalah realitas pastoral yang tidak bisa lagi diabaikan. Secara internal, GPI sebagai sebuah persekutuan institusional menghadapi “krisis relevansi” yang signifikan. Krisis ini berakar pada dinamika sejarah yang unik, otonomi penuh yang dimiliki oleh Gereja-Gereja Bagian Mandiri (GBM), serta peran dominan lembaga oikumenis lainnya yang seringkali mengaburkan fungsi dan tujuan GPI di tingkat nasional.1

Menjawab tantangan ganda tersebut, dokumen ini disusun untuk menyajikan sebuah kerangka kerja teologis dan strategis yang terpadu. Tujuannya adalah untuk menjadi landasan bagi seluruh percakapan, pergumulan, dan pengambilan keputusan dalam SMSA GPI 2025. Dokumen ini akan menjabarkan Tema dan Sub-Tema Sidang sebagai kompas teologis yang menuntun arah kita, serta merumuskan tiga Tujuan Strategis yang saling terkait sebagai peta jalan yang jelas untuk masa depan pelayanan Gereja Protestan di Indonesia.

 

Bagian I: Landasan Teologis dan Kontekstual – Tema dan Sub-Tema Sidang

1.1. Tema Utama: “Ujilah Segala Sesuatu dan Peganglah yang Baik” (1 Tesalonika 5:21)

Pilihan tema ini bukanlah sekadar slogan inspiratif, melainkan sebuah mandat ilahi yang mendesak untuk melakukan discernment (pembedaan roh) yang kritis dan mendalam di tengah zaman yang bergejolak.1

Analisis Teologis Mendalam

Perintah Rasul Paulus kepada jemaat Tesalonika ini menggunakan kata kerja Yunani dokimazete (δοκιμαζετε), yang memiliki makna jauh lebih dalam dari sekadar penilaian intelektual. Istilah ini berarti menguji untuk membuktikan, memeriksa untuk membedakan, dan sering digunakan dalam konteks menguji kemurnian logam mulia dari kotoran.1 Ini adalah sebuah proses pembuktian untuk menemukan nilai yang sejati dan otentik. Panggilan ini lahir dari kepedulian pastoral untuk melindungi jemaat dari berbagai ajaran dan tren baru yang berpotensi menyesatkan. Lebih jauh lagi, surat ini ditujukan kepada seluruh jemaat, bukan kepada individu secara terpisah. Hal ini menegaskan bahwa proses pengujian ini harus menjadi sebuah disiplin komunal, bukan sekadar latihan spiritual individual. Ia harus terlembagakan dalam kehidupan bergereja, dari tingkat Majelis Jemaat hingga Sidang Sinode Am.1

Standar Pengujian

Di tengah era post-truth, di mana emosi dan keyakinan pribadi seringkali lebih berpengaruh daripada fakta objektif, gereja dipanggil untuk kembali kepada standar pengujian yang absolut: kebenaran Firman Tuhan. Penegasan kembali prinsip Reformasi, Sola Scriptura, menjadi krusial. Setiap inovasi, teknologi, atau ajaran baru harus diuji dengan pertanyaan mendasar: “Apakah hal ini selaras dengan kesaksian Alkitab? Apakah ia membangun iman atau justru merongrongnya?”.1 Standar pengujian tertinggi adalah Pribadi Yesus Kristus sendiri. Pertanyaan ultimatif dalam setiap pengujian adalah: “Apakah hal ini membawa kita lebih dekat kepada pengenalan yang benar akan Kristus dan memuliakan-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat?”.1

Implikasi Institusional dan Panggilan Menguji Diri Sendiri

Secara inheren, sistem pemerintahan presbiterial sinodal yang dianut oleh GPI dan GBM-nya adalah sebuah wujud nyata dari disiplin komunal dalam “menguji segala sesuatu”.1 Dalam sistem ini, hikmat tidak terpusat pada satu individu, melainkan digumuli secara kolektif oleh para presbiter dalam berbagai aras persidangan. Dengan demikian, setiap keputusan kebijakan adalah hasil dari sebuah proses “pengujian” bersama.

Namun, panggilan terbesar dalam SMSA 2025 adalah menerapkan mandat “Ujilah Segala Sesuatu” tidak hanya kepada fenomena eksternal di dunia, tetapi juga secara introspektif kepada struktur, peran, dan relevansi GPI sendiri. Analisis strategis menunjukkan bahwa GPI menghadapi krisis relevansi yang berakar pada perannya yang ambigu pasca-kemandirian GBM-GBM dan kehadiran Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).1 Dengan demikian, agenda untuk merevitalisasi GPI bukanlah sekadar sebuah latihan restrukturisasi korporat, melainkan sebuah tindakan ketaatan teologis terhadap tema sidang itu sendiri. Kita dipanggil untuk dengan jujur “menguji” model operasional kita saat ini, dan jika ditemukan kurang memadai, kita harus memiliki keberanian untuk memperbaruinya. Ini mengubah agenda reformasi institusional menjadi sebuah disiplin spiritual yang mendalam dan esensial.

1.2. Sub-Tema: “Ketahanan Sosial Gereja di Era Disrupsi: Menyelaraskan Nilai Kebenaran dan Respons Adaptif Terhadap Dinamika Ekonomi dan Teknologi”

Sub-tema ini mendefinisikan arena konkret di mana mandat pengujian tersebut harus dilakukan. Ia menuntut gereja untuk menjadi entitas yang berakar kuat pada kebenaran Injil (rooted), sekaligus relevan dan tangkas dalam merespons tantangan zaman (responsive).1

Analisis Lanskap Disrupsi

Konteks pelayanan kita ditandai oleh pertumbuhan fenomenal ekonomi digital Indonesia, yang sekaligus menyimpan berbagai paradoks. Di satu sisi, proyeksi nilai transaksi di sektor pembayaran digital, perdagangan daring (e-commerce), dan pinjaman daring pada tahun 2025 mencapai ribuan triliun rupiah.1 Namun di sisi lain, pertumbuhan ini disertai dengan perlambatan daya beli, gelombang PHK di sektor teknologi (“tech winter“), dan yang terpenting, kesenjangan yang semakin melebar. Kesenjangan ini tidak hanya bersifat infrastruktur (antara Jawa dan luar Jawa), tetapi juga kesenjangan keterampilan (skills gap), di mana kualitas sumber daya manusia belum siap menyambut jenis-jenis pekerjaan baru yang diciptakan oleh disrupsi teknologi.1

“Kesenjangan Ganda” (Double Divide)

Analisis ini menunjukkan adanya sebuah “kesenjangan ganda” (double divide) yang dihadapi jemaat. Kesenjangan pertama adalah kesenjangan akses, yang terkait dengan ketersediaan infrastruktur dan biaya internet. Namun, di atas itu, ada kesenjangan kedua yang lebih subtil, yaitu kesenjangan kapabilitas. Ini mencakup literasi digital, keterampilan teknis, dan literasi finansial.1 Seorang anggota jemaat di kota besar yang memiliki akses internet penuh bisa jadi tetap menjadi korban pinjaman daring ilegal karena literasi finansialnya yang rendah. Fenomena ini menyiratkan bahwa strategi gereja tidak bisa hanya berfokus pada penyediaan akses teknis (misalnya, memasang WiFi di gereja), tetapi harus secara simultan dan terintegrasi membangun kapabilitas jemaat untuk menggunakan teknologi secara bijak, aman, dan produktif.

 

Mendefinisikan Ulang Ketahanan Sosial Gerejawi

Menghadapi disrupsi ini, gereja dipanggil untuk membangun ketahanan sosial. Dari perspektif iman Kristen, “Ketahanan Sosial Gerejawi” melampaui sekadar kemampuan bertahan hidup sebagai sebuah organisasi. Ini adalah sebuah kapasitas dinamis yang berakar pada kuasa Roh Kudus, yang memungkinkan gereja sebagai tubuh Kristus untuk: (1) Beradaptasi dalam metode tanpa kehilangan fokus pada (2) Tujuan utamanya, yaitu partisipasi dalam Misi Allah (Missio Dei); (3) Memperkuat Persekutuan (koinonia) di tengah tekanan yang memecah belah; dan (4) Memelihara Kebenaran Injil sebagai fondasi yang tak tergoyahkan.1 Dengan demikian, ketahanan yang hendak dibangun bukanlah ketahanan yang statis dan defensif, melainkan ketahanan yang bersifat misioner, di mana adaptasi menjadi sarana untuk kesaksian (marturia) dan pelayanan (diakonia) yang lebih berdampak.

Bagian II: Tujuan Strategis – Arah Baru Pelayanan dan Kelembagaan GPI

Berdasarkan landasan teologis dan analisis kontekstual tersebut, dirumuskan tiga Tujuan Strategis yang saling terkait untuk menjadi fokus pembahasan dan pengambilan keputusan dalam SMSA GPI 2025.

2.1. Objektif Strategis 1: Membangun Jemaat yang Tangguh dan Adaptif melalui Transformasi Pelayanan

Tujuan pertama ini berfokus pada pemberdayaan gereja-gereja lokal (GBM) dan seluruh warganya agar dapat secara efektif menjalankan Tri Panggilan Gereja di tengah konteks disrupsi. Ini adalah respons langsung terhadap tantangan yang dipetakan dalam analisis Sub-Tema.

Arah Baru Diakonia: Dari Karitatif ke Transformatif

Era disrupsi menuntut pergeseran paradigma dalam pelayanan diakonia. Gereja harus bergerak melampaui:

  • Diakonia Karitatif (“memberi ikan”), yang berfokus pada bantuan darurat namun berisiko menciptakan ketergantungan.
  • Diakonia Reformatif (“mengajar memancing”), yang berfokus pada pembangunan kapasitas individu namun seringkali mengabaikan akar masalah.
  • Menuju Diakonia Transformatif (“menjamin akses yang adil ke kolam”), yang berfokus pada perubahan sistem dan struktur yang tidak adil.1

Diakonia transformatif ini menuntut sebuah kompetensi baru dari gereja, yaitu “literasi sistemik”—kemampuan untuk “membaca” dan menganalisis sistem sosial, ekonomi, dan politik yang menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Pemberian pancing tidak akan berguna jika sungai telah dimonopoli oleh pihak-pihak yang serakah.1 Oleh karena itu, para pelayan gereja harus dibekali kemampuan untuk melakukan analisis sosial dan advokasi kebijakan sebagai bagian tak terpisahkan dari panggilan diakonia.

Tabel 1: Perbandingan Model-Model Pelayanan Diakonia

 

Aspek

Diakonia Karitatif

Diakonia Reformatif

Diakonia Transformatif

Fokus Utama

Bantuan darurat, meringankan penderitaan

Pembangunan kapasitas, kemandirian individu

Perubahan struktur, keadilan sistemik

Metafora

Memberi ikan

Mengajar memancing

Menjamin akses yang adil ke kolam

Peran Gereja

Pemberi bantuan

Pelatih, penyedia modal

Fasilitator, pendamping, advokat

Potensi Risiko

Menciptakan ketergantungan

Mengabaikan akar masalah struktural

Dianggap terlalu politis, butuh kompetensi baru

Sumber: Diadaptasi dari Kajian Thema dan Sub-Thema Sidang Sinode Am GPI 2025 1

   

 

Arah Baru Pelayanan Digital: Dari Proklamasi ke Percakapan dan Kurasi

Teknologi digital secara fundamental telah mengubah cara manusia berkomunikasi dan membentuk komunitas. Hal ini menuntut pergeseran peran pemimpin gereja dari model tradisional “pelayanan proklamasi” (komunikasi satu arah dari mimbar) yang tidak lagi memadai. Peran pemimpin gereja harus bergeser menjadi:

  1. Fasilitator Percakapan (Ministry of Conversation): Secara sengaja menciptakan ruang-ruang yang aman (baik fisik maupun digital) bagi jemaat untuk bertanya, bergumul, dan bersama-sama “menguji” berbagai ide dan ajaran yang mereka temui.
  2. Kurator (Ministry of Curation): Secara aktif membantu jemaat menyaring lautan informasi, merekomendasikan sumber-sumber teologis yang sehat dan dapat dipercaya, serta menyediakan panduan untuk menavigasi lanskap digital yang kompleks.1

Pergeseran ini menuntut penyusunan sebuah kerangka kerja etis yang jelas untuk penggunaan teknologi dalam pelayanan, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip teologis yang kokoh: kebenaran dan integritas, kasih dan martabat manusia, keadilan dan inklusivitas, serta tanggung jawab (amanah).1

Tabel 2: Kerangka Kerja Etis Penggunaan Teknologi Digital dalam Pelayanan

 

Prinsip Teologis

Aplikasi dalam Media Sosial & Manajemen Data

Pertanyaan Reflektif untuk Pengujian

Kebenaran & Integritas

Verifikasi informasi sebelum membagikan; melawan hoaks. Transparansi penggunaan AI dalam penyiapan materi.

Apakah ini membangun pemahaman yang benar tentang Tuhan dan Firman-Nya?

Kasih & Martabat Manusia

Moderasi komentar yang membangun; kebijakan anti-cyberbullying. Perlindungan data pribadi jemaat.

Apakah penggunaan teknologi ini menunjukkan kasih dan menghargai sesama sebagai gambar Allah?

Keadilan & Inklusivitas

Memastikan konten dapat diakses oleh semua (misal: teks untuk tuna rungu). Menggunakan data untuk mengidentifikasi jemaat yang terpinggirkan.

Apakah ini menjembatani atau justru memperlebar kesenjangan di dalam jemaat?

Tanggung Jawab (Amanah)

Memberikan teladan penggunaan media sosial yang sehat. Mengedukasi jemaat tentang keamanan digital dan privasi.

Apakah kita menggunakan alat ini sebagai pelayan yang baik atas kepercayaan Tuhan?

Sumber: Diadaptasi dari Kajian Thema dan Sub-Thema Sidang Sinode Am GPI 2025 1

  

 

2.2. Objektif Strategis 2: Merevitalisasi Peran Sinode Am GPI sebagai “Synodus Synodorum”

Keberhasilan pemberdayaan jemaat di tingkat lokal (Objektif 1) sangat bergantung pada adanya sebuah lembaga sinodal yang sehat, relevan, dan berfungsi secara efektif. Oleh karena itu, tujuan kedua ini berfokus pada reformasi internal pada Sinode Am GPI agar dapat secara optimal mendukung pencapaian Objektif 1.

Diagnosis Institusional: Warisan, Ekklesiologi, dan Krisis Relevansi

Analisis strategis menunjukkan bahwa GPI menghadapi “Dilema Gereja Induk”. Sebagai gereja tertua di Asia, yang akarnya menancap sejak 1605, GPI secara historis adalah entitas yang pertama kali memetakan Peta Nusantara melalui proses penyebaran pelayanannya jauh sebelum Indonesia merdeka.1 GPI-lah yang melahirkan dan memandirikan ke-12 Gereja Bagian Mandiri (GBM).1

Namun, pasca kemandirian GBM, peran GPI menjadi ambigu.1 Ekklesiologi GPI pada dasarnya bukanlah gereja jemaat (congregational) melainkan gereja sinodal (synodal). Dalam skala makro, GPI menyerupai sebuah holding company yang memberi arah dan jalan bagi ke-12 sinodenya untuk bertumbuh dalam konteks nasional. Ke-12 Sinode GBM didirikan oleh GPI dengan misi spesifik untuk mengurusi regional Nusantara sesuai tuntutan sejarah dan amanat pekabaran Injil.

Krisis relevansi saat ini diperumit dengan kehadiran PGI yang secara efektif telah mengambil alih banyak fungsi oikumenis nasional, sehingga peran Sinode Am GPI seringkali dianggap tumpang-tindih dan tidak esensial.1 Upaya untuk membuat GPI “lebih kompetitif” dari PGI adalah sebuah kekeliruan strategis. Sebaliknya, strategi yang tepat adalah menjadikan GPI “lebih distingtif dan bernilai” dalam ceruknya yang unik. Kekuatan GPI terletak pada homogenitas (kesamaan teologi Reformed dan sejarah), sementara kekuatan PGI terletak pada heterogenitasnya (representasi yang luas).1

Pivot Strategis: Meneguhkan “Synodus Synodorum” sebagai Facilitative Hub

Untuk menjawab tantangan ini, sebuah pivot strategis diusulkan. Dalam format nasional, di mana ada kebutuhan akan fungsi koordinasi top-down, GPI perlu hadir sebagai “Sinodenya Sinode” atau Synodus Synodorum. Peran ini bukanlah untuk pengendalian kekuasaan, melainkan sebagai manifestasi dari keesaan teokrasi yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan, mengembangkan, dan merepresentasikan ke-12 GBM di hadapan negara dan komunitas internasional.

Dalam konteks Kerangka Organisasi dan Mekanisme Integrasi antara GPI dan ke-12 GBM, tema “Synodus Synodorum” ini harus menjadi Unique Value Proposition (UVP) utama yang ditawarkan oleh GPI.

Dimensi Patriotik ‘Synodus Synodorum’: Misi Diplomasi dan Kemitraan Negara

Peran sebagai Synodus Synodorum ini memiliki dimensi patriotik yang mendalam, yang mengamanatkan GPI untuk mengemban misi diplomasi dengan Negara. Sejarah GPI adalah sejarah patriotik yang terjalin erat dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). GPI bukanlah entitas yang baru hadir; ia adalah gereja tertua yang telah melakukan “pembumian” dari Indische Kerk menjadi gereja Indonesia sejati.

Bukti komitmen kebangsaan ini tak terbantahkan: tiga Sinode Bagian (GBM) telah berdiri kokoh di Nusantara sebelum Proklamasi Kemerdekaan, disusul oleh sinode-sinode lain yang mengadopsi nama-nama lokal sebagai wujud inkulturasi. Puncak dari jalinan sejarah ini terekam abadi dalam salah satu episode paling genting bangsa. Di tengah gejolak pemberontakan PERMESTA, Presiden Soekarno sendiri memilih untuk hadir dan berpidato di Gereja Sion, Tomohon. Dari mimbar GMIM-GPI itulah, Bung Karno menyerukan panggilan kebangsaan, mengajak gereja dan warganya untuk kembali bersatu dan mendukung penuh NKRI. Ini adalah bukti sahih bahwa GPI, sejak dalam rahimnya, adalah mitra patriotik dalam membangun bangsa.

Oleh karena itu, Sidang Sinode Am 2025 harus menjadi momentum kebangkitan untuk menyepakati misi mulia ini: membentuk sebuah “Desk Kemitraan Gereja-Negara” yang formal. Ini bukanlah permintaan, melainkan penegasan kembali peran historis GPI sebagai salah satu pilar penjaga NKRI.

Identitas strategis GPI sebagai “Pusat Identitas Reformed dan Inovasi Misioner” 1 harus diwujudkan melalui model operasional baru sebagai “Pusat Fasilitasi” (Facilitative Hub).1 Peran sebagai Synodus Synodorum inilah yang memungkinkan Sinode Am GPI untuk benar-benar mengemban amanat dan misinya sebagai Facilitative Hub yang sejati, yang mencakup semua aspek PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Lingkungan, dan Legal) bagi kepentingan bersama seluruh GBM.

Model “Pusat Fasilitasi” ini secara langsung menjawab tantangan “kesenjangan ganda” yang tidak hanya terjadi pada jemaat, tetapi juga secara institusional di antara ke-12 GBM. Terdapat kesenjangan kapabilitas yang nyata antara GBM yang besar dan kaya sumber daya dengan GBM yang lebih kecil dan terbatas. Peran baru GPI sebagai “Pusat Fasilitasi” yang menyediakan sumber daya teologis, digital, dan programatik bersama adalah jawaban strategis untuk menjembatani kesenjangan internal ini. Hal ini memberikan justifikasi teologis dan strategis yang kuat mengapa GBM yang lebih besar harus berinvestasi dalam revitalisasi GPI: yaitu untuk memperkuat seluruh tubuh Kristus dalam ikatan keluarga GPI, menciptakan keadilan dan solidaritas yang lebih nyata.

2.3. Objektif Strategis 3: Mengimplementasikan Tiga Inisiatif Kolaboratif sebagai Wujud ‘Synodus Synodorum’

Tujuan ketiga ini adalah menerjemahkan visi luhur “Synodus Synodorum” dan identitas operasional sebagai “Pusat Fasilitasi” (Objektif 2) ke dalam program-program konkret dan bernilai tambah yang mencakup seluruh spektrum PESTEL dan dapat dirasakan langsung oleh seluruh GBM. Ini adalah “bukti” nyata dari relevansi dan revitalisasi GPI.

Inisiatif 1 (Teologi & Sosial): “Think-and-Do Tank” GPI

  • Tujuan: Menyediakan panduan teologis Reformed yang relevan (aspek Sosial/Teologi dari PESTEL) untuk isu-isu yang dihadapi gereja dan masyarakat. Inisiatif ini secara langsung berfungsi untuk membangun “literasi sistemik” yang dibutuhkan untuk Diakonia Transformatif (Objektif 1) dan memperkuat identitas teologis bersama.1
  • Aksi: Membentuk komisi-komisi studi permanen yang melibatkan perwakilan dari berbagai GBM untuk mengkaji topik-topik kunci seperti Teologi Digital & Etika, Keadilan Ekologis (Environmental), dan Teologi Publik & Kebangsaan (Political/Legal).1

Inisiatif 2 (Politik, Legal & Ekonomi): Jaringan Fasilitasi Nasional ‘Synodus Synodorum’

  • Tujuan: Mewujudkan peran GPI sebagai ‘Synodus Synodorum’ dalam kerangka Facilitative Hub yang fungsional. Tujuannya adalah untuk secara aktif mengkonsolidasikan, mengembangkan, dan merepresentasikan ke-12 GBM secara terpadu, mencakup seluruh spektrum PESTEL, dan secara khusus menjalankan misi diplomasi patriotik di hadapan negara dan komunitas internasional, sebagaimana diamanatkan dalam Objektif 2.1
  • Aksi:
  • Membentuk Desk Kemitraan Gereja-Negara (Aspek Politik & Legal): Secara proaktif membentuk dan mengelola desk kemitraan strategis dengan pemerintah (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) untuk menyuarakan aspirasi kolektif ke-12 GBM dan menegaskan kembali peran historis GPI sebagai mitra patriotik NKRI.
  • Konsolidasi Jaringan Koinonia-Diakonia (Aspek Ekonomi & Sosial): Mengintegrasikan dan memfasilitasi program-program pelayanan kolaboratif sebagai wujud nyata solidaritas internal ‘keluarga’ GPI. Ini termasuk membentuk unit tanggap bencana terpadu (misalnya, GPI-CARE), membuat program pertukaran pelayan formal antar-GBM, dan mendirikan dana pemberdayaan ekonomi bersama untuk mendukung proyek-proyek di wilayah GBM yang lebih tertinggal.1
  • Fasilitasi Advokasi Lintas-GBM (Aspek Legal & Environmental): Bertindak sebagai fasilitator untuk isu-isu strategis yang melampaui satu sinode, seperti advokasi kebijakan publik, inisiatif keadilan ekologis bersama, dan respons terpadu terhadap tantangan sosial nasional.1

Inisiatif 3 (Teknologi): “Enabler Transformasi Digital”

  • Tujuan: Menyediakan layanan dan infrastruktur (aspek Teknologi dari PESTEL) terpusat yang bernilai tinggi untuk memodernisasi seluruh persekutuan dan secara praktis menjembatani kesenjangan kapabilitas antar-GBM.1
  • Aksi: Mengembangkan platform digital terpadu (misalnya, “GPI-Connect”) yang menawarkan: (a) Sistem Manajemen Gereja (Church Management System – ChMS) standar bagi GBM yang membutuhkan; (b) Portal E-Learning kolaboratif untuk pendidikan teologi dan pelatihan kepemimpinan; dan (c) Repositori sumber daya digital berisi liturgi, bahan khotbah, dan praktik-praktik terbaik dari ke-12 GBM.1

Penutup: Arah Keputusan Sidang Sinode Am 2025

Era disrupsi, dengan segala gejolak dan ketidakpastiannya, bukanlah ancaman akhir bagi gereja, melainkan sebuah undangan dari Allah untuk kembali pada panggilan fundamentalnya: “ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”. Agenda yang terbentang di hadapan Sidang Majelis Sinode Am 2025 ini harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Ketiga tujuan strategis yang telah dipaparkan tidak dapat dipisahkan. Keberhasilan pemberdayaan jemaat di tingkat lokal (Objektif 1) sangat bergantung pada adanya Sinode Am yang direvitalisasi dan relevan (Objektif 2), yang membuktikan perannya melalui implementasi inisiatif-inisiatif kolaboratif yang bernilai tambah (Objektif 3).

Oleh karena itu, seluruh delegasi diajak untuk melihat agenda sidang bukan sebagai serangkaian program terpisah, melainkan sebagai satu paket keputusan strategis yang akan menentukan arah dan masa depan GPI. Ini adalah sebuah panggilan untuk berkomitmen bersama: menjadi gereja yang setia pada panggilannya untuk “menguji” diri sendiri dengan jujur; berani “memegang yang baik” yaitu warisan teologi Reformed yang kaya, mandat historis sebagai pemersatu Nusantara, dan ikatan kekeluargaan yang unik; serta memiliki keberanian untuk melepaskan apa yang tidak lagi relevan dan “memperbarui” diri demi kesaksian yang lebih efektif di tengah bangsa dan dunia.

Dengan berpegang pada keyakinan bahwa Kristus adalah Kepala Gereja yang sama, kemarin, hari ini, dan sampai selama-dimananya, GPI bersama seluruh Gereja Bagian Mandiri di dalamnya dapat melangkah maju. Bukan dengan ketakutan, melainkan dengan iman. Bukan dengan kepasrahan, melainkan dengan pengharapan. Dan bukan dengan penghakiman, melainkan dengan kasih. Kiranya hikmat Tuhan menyertai seluruh proses dan keputusan dalam Sidang Sinode Am GPI 2025.

Tabel 3: Rangkuman Arah Teologis dan Strategis SMSA 2025

Landasan Teologis (Mengapa?)

Tujuan Strategis (Apa?)

Wujud Implementasi (Bagaimana?)

Tema: “Ujilah Segala Sesuatu, Peganglah yang Baik”


Sub-Tema: Ketahanan Sosial Gereja di Era Disrupsi

1. Membangun Jemaat yang Tangguh & Adaptif

• Mengadopsi Diakonia Transformatif.


• Mengembangkan Pelayanan Digital berbasis Percakapan & Kurasi.

Mandat untuk melakukan discernment komunal terhadap tantangan eksternal (disrupsi) dan internal (relevansi institusional).

2. Merevitalisasi Peran Sinode Am GPI

• Mengadopsi identitas ‘Pusat Identitas Reformed & Inovasi Misioner’ yang diwujudkan sebagai ‘Synodus Synodorum’ (Sinodenya Sinode).


• Mengubah model operasional menjadi ‘Pusat Fasilitasi’ (Facilitative Hub) untuk konsolidasi nasional (mencakup PESTEL).

Panggilan untuk membangun ketahanan misioner yang berakar pada kebenaran dan responsif terhadap konteks.

3. Mengimplementasikan Inisiatif Kolaboratif

• Membentuk “Think-and-Do Tank” Teologis.


• Meluncurkan Jaringan Fasilitasi Nasional ‘Synodus Synodorum’ (mencakup Desk Kemitraan Negara & konsolidasi PESTEL).


• Mengembangkan platform “Enabler Transformasi Digital”.

Karya yang dikutip

  1. Kajian Thema dan Sub-Thema Sidang Sinode Am GPI 2025.pdf